EKSISTENSI PEMUDA DI TENGAH-TENGAN MASYARAKAT
OLEH : AHMAD_@nkal[1]
Dalam kehidupan
bermasyarakat tentu ada beberapa elemen yang saling berinteraksi. Dalam proses
berinterkasi tidak selamanya berjalan mulus, pasti ada hal-hal yang dapat
mendatangkan masalah. Itulah dinamika kehidupan dalam bermasyarakat. Perlu
diingat bahwa proses berinteraksi yang positif akan menghasilkan kehidupan yang
aman, sejahtera, dan dapat meminimalisir masalah antara yang satu dengan yang
lainnya, sebaliknya proses interaksi yang negatif akan menghasilkan kehidupan
yang bisa mendatangkan berbagai masalah
di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa, kehidupan bermasyarakat sekarang sudah mengalami
perubahan drastis, dikarenakan pengaruh hegemoni Barat yang mengajarkan tentang
nilai-nilai kebebasan dalam semua lini kehidupan. Propaganda Barat melalui
media masssa seperti, televisi, hand phone, internet dan lain-lain sangat
berpengaruh terhadap perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini, mulai dari anak-anak,
remaja, orang dewasa bahkan orang tua ikut berpengaruh dengan kemajuan
tekhnologi yang ditawarkan oleh orang-orang Barat hari ini. Kita bisa melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa, degredasi moral semakin kentara di
tengah-tengah kehidupan masyarakat kita sekarang seperti kasus pembunuhan,
pemerkosaan, tawuran antar pelajar, korupsi besar-besaran, perampokan,
perzinahan dan lain sebagainya. Kasus-kasus sepeti itu membuktikan kepada kita
bahwa, kehidupan masyarakat semakin hari semakin terjadi penurunan kualitas
dari nilai-nilai moralitas.
Masyarakat
sekarang sudah tidak peduli lagi dengan nilai-nilai kebersamaan dalam membangun
Bangsa dan Tanah air, individu sudah sibuk dengan urusannya masing-masing.
Nilai-nilai kebersamaan itu sudah mulai memudar dalam diri masyarakat, sehingga
yang terjadi sekarang ini adalah saling sikut menyikut untuk mendapatkan
keinginan hawa nafsunya. Hilangnya nilai kebersamaan dalam kehidupan masyarakat
kebanyakan dikarenakan perebutan kekuasaan, perebutan kepentingan dan perebutan
keuntungan, sehingga masyarakat menjadi serigala bagi masyarakat lain. Inilah
problem terbesar yang membuat masyarakat tidak saling menghargai satu sama
lain. Padahal menurut penulis dalam kehidupan bermasyarakat ada tujuan bersama
yang harus dicapaai secara bersama pula, dan tujuan bersama tersebut sulit
dicapai apabila antara individu dengan individu lain dan antara kelompok dengan
kelompok lain tidak memiliki nilai-nilai kebersamaan dan tidak saling
menghargai satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal demikian
terjadi dikarenakan masyarakat sekarang sudah terkontaminasi dengan zaman
modern. Abad modern diakui memiliki dua sisi, sisi positif dan negatif
sekaligus. Modernisme dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua. Di satu
sisi, modernisme telah mendatangkan berkah dan kebaikan yang luar biasa bagi
kehidupan umat manusia. Namun, di sisi lain, modernisme telah pula menimbulkan
laknat dan kutukan yang membuat manusia di landa kecemasan yang tiada tara.
Dari sisi inilah, modernisme mendapat julukan sebagain “Abad Kecemasan” (The
Age of Anxiety). Dari sisi ini, ada beberapa fenomena yang amat menonjol
dan memperlihatkan dengan jelas sisi gelap
modernisme.
Pertama,
timbulnya fenomena saintisme di dunia Barat di mana ilmu telah
menjadi ideologi baru bahkan agama baru (pseudoagama). Fenomena ini, seperti
diutarakan Sayyid Qutub, sudah tampak sejak abad XVII M. yang menyebabkan
masyarakat Barat membuang semua keyakinan agama yang sakral. Mereka menolak
semua itu, dan hanya percaya pada ilmu pengetahuan, dan kepercayaan ini telah
mencapai tingkat yang amat tinggi. Saintisme mencapai puncaknya pada abad XVIII
dan XIX dimana ilmu telah menjadi “berhala” yang dipertuhankan oleh manusia
modern. Sepeti Tuhan, ilmu dipandang memiliki ketetapan yang amat kuat dan
tidak dapat sedikitpun keraguan dan kebatilan di dalamnya. Namun lanjut Qutub,
sejak permulaan abad XX, kayakinan di atas telah goyah karena terbukti watak
ilmu pengetahuan itu tidak pernah tetap dan selalu berubah-ubah.
Teman-temuannya setiap saat dapat dikorteksi. Anehnya, ilmu penegetahuan itu
sendiri yang mengoreksinya dari waktu ke waktu. Jadi, ilmu pengetahuan yang
diperlihatkan dengan jelas kelemahan-kelemahan sendiri dalam konsep-konsepnya,
instrument-instrumennya, dan kriteria-kriteria penetapannya. Dari paparan di
atas, ilmu pengetahuan bukan berarti tidak penting bagi umat manusia, akan
tetapi masyarakat pada abad modern sekarang memisahkan agama dengan ilmu
pengetahua itu sendiri, sehingga melahirkan pola pikir yang liberal dan sekuler.
Padahal anatara ilmu dan agama tidak
bisa dipisahkan, bahkan ilmu dan agama bagaikan mata rantai yang yang
saling mengikat dan berkesenambungan.
Kedua,
kirisis lingkungan dan
kemanusiaan. Telah dikemukakan bahwa dalam modernisme terdapat ide kemajuan (concept
og progress). Ini yang menyebabkan manusia atau masyarakat modern menjadi
sangat pogresif dan agresif dalam mengejar kemajuan. Dengan bantuan IPTEK,
mereka ingin menguasai dan menaklukkan mitos kekuatan alam semesta. Akibatnya,
terjadi eksplorasi dan ekspolitasi besar-besaran terhadap alam yang mengakibatkan
rusaknya ekosistem. Kerusakan alam dan lingkungan ini persis seperti yang
digambarkan al-Qur’an yakni karena ulah dan keserakahan manusia.
tygsß ß$|¡xÿø9$# Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷r& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt
Artinya :
“Telah nampak
keruskan di darat dan di laut disebabkan karena prbuatan tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Al-Rum : 41)
Modenisme telah
pula melahirkan krisis sosial dan kemanusiaan dalam bentuk penjajahan dan
kolonialisme. Atas nama kemajuan dan karena kompetisi merebut kemajuan, bangsa-bangsa Barat
melakukan penaklukan dan penjajahan terhadap seluruh negeri di Asia dan Afrika.
Penjajahan ini telah menimbulkan kerugian yang luar biasa besar baik material
maupun sosial dan kultural yang bekas-bekasnya masih dirasakan hingga sekarang.
Ironisnya, penjajahan ini terus berlangsung hingga sekarang dalam bentuk
penguasaan ekonomi, poklitik, sosial budaya dan iptek, oleh Negara-negara Maju
atas Negara-negara Berkembang, termasuk Negara-negara Islam. Iptek telah
dipergunakan untuk mendukung kelangsungan penjajahan model baru ini. Itu
sebabnya, meski dunia kini memasuki era global, namun globalisasi dalam bidang
iptek tetap terbatas. Iptek dalam arti produk memang meluas dan menyebar di
Negara-negara Berkembang. Namun, iptek dalam arti proses tetap dikuasai
Negara-negara maju sebagai “Agen Tunggal” pengembangan dan penguasaan iptek.
Akibatnya, seperti dikatakan pemikir islam kontemporer Bassam Tibi, terjadi
konflik besar antara The dominant scientific-technology Western culture and
the preindustrial non-Western culture, sehingga masyarakat dunia (word
society) menjadi timpang alias tidak setara (non egalitarial), atau
seperti dikemukakan tokoh perdamaian Norwegia, Jhon Galtung “kita hidup dalam
suatu tatanan dunia yang feodal”. Modernisme diakui telah mendatangkan kekayaan
secara material, tetapi sangat kering dan miskin secara etika dan moral. Segala
sesuatu cenderung dilihat dari sudut kemajuan material. Ini sesungguhnya
merupakan degredasi dan reduksi terhadap kualitas hidup manusia. Akibatnya,
nilai-nilai luhur kemanusiaan, sepeti kasih sayang, kebersamaan, solidaritas,
dan persaudaraan sebagai sesama mansia, kurang mendapat perhatian yang wajar
dalam masyarakat modern.
Ketiga,
materialisme modernitas. Modernitas, tulis John L. Esposito, tumbuh
dari akar-akar materialisme. Buktinnya, modernisme ditopang oleh mesin ekonomi
yang disebut kapitalisme. Kapitalisme merupakan motor dan penggerak modernisme.
Sebagai lanjutan dari materialisme, kapitalisme merupakan suatu paham yang
memberikan nilai dan penghargaan amat tinggi terhadap kenikmatan lahiriyah.
Modernisasi sering di artikan, terutama di Negara-negara Berkembang, sebagai
usaha meninggatkan taraf hidup yang lebih makmur. Akibatnya, modernisme,
seperti telah disinggung lebih tertarik pada yang inderawi, lansung dan
duniawi, dari pada yang rohani, tidak lansung, dan adiduniawi. Dalam pandangan
yang demikian, maka jelas kriteria moral dan etika akan terdesak oleh kriteria manfaat
dan kepentingan jangka pendek.
Keempat, Kehampaan spiritual masyarakat modern. Manusia modern, tulis
Hossen Nasr, mengidap penyakit ketidakseimbangan psikologis akibat usahanya
untuk hidup hanya dengan roti semata, membunuh semua Tuhan, dan membebaskan
diri dari kekuatan Surgawi. Manusia modern juga mengidap penyakit pelupa atau alienasi.
Ia menjadi lupa kepada dirinya sendiri, dan tentu saja lupa kepada pusat
lingkungan eksistensi, yaitu Allah SWT. Manusia modern menjadi sangat rentang
penyakit karena ia sesungguhnya telah kehilangan salah satu aspeknya yang
paling fundamental, yaitu spiritualisme. Ini merupakan ancaman bagi umat
manusia. Kemajuan lahiriyah yang dicapai manusiua modern telah menjadi berhala
yang menghambat komunikasi dan hubungannya dengan sumber kehidupan (Tuhan),
sehingga kehidupan yang dibangunnya terasa sempit dan gelap, serta jauh dari
bimbingan dan pentujuk Tuhan, seperti yang digambarkan Tuhan dalam Q.S. Thaha:
124 berikut :
ô`tBur uÚtôãr& `tã Ìò2Ï ¨bÎ*sù ¼ã&s! Zpt±ÏètB %Z3Y|Ê ¼çnãà±øtwUur uQöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 4yJôãr&
Artinya :
“Dan
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan
buta”.
Jadi, kemajuan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi atau yang disebut dengan jaman modern atau
jaman globalisasi, terdapat dampak positif dan dampak negatif di dalamnya.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi satu sisi dapat mempermudah manusia
mengakses informasi sebanyak-banyaknya dan dapat mempercepat manusia melakukan
segaala sesuatu. Akan tetapi, disisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi kebanyakan mengarahkan manusia pada dehumansiasi dan degradasi moral yang berkepanjangan. Kalau kita lihat dewasa
ini, kebanyakan manusia lebih terpengaruh pada sisi negatif dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi lebih-lebih pada generasi muda.
Dari beberapa problematika yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat akibat pengaruh infiltrasi (penyusupan) teori-teori
Barat seperti yang telah dipaparkan oleh penulis di atas merupakan problematika
yang harus segera diselesaikan oleh masyarakat, terutama oleh generasi muda. Sebab
pemuda mempunyai posisi yang strategis di tengah-tengah masyarakat yaitu
sebagai agent of change dan agent of control. Pemuda merupakan
penggerak dalam merubah tata kehidupan yang ada di masyarakat, yaitu merubah
dari kebiasaan yang tidak baik menjadi kebiasaan yang baik, dari tingkah laku
yang menyimpang dan biadab menjadi tingkah laku yang beradab dan lain
sebagainya. Selain itu pemuda juga sebagai penggerak dalam mengonrol kehidupan
masyarakat yang semakin hari semakin terjadi dehumanisasi dan semakin jauh dari
nilai-nilai moralitas dan spiritualitas. Seorang pemuda harus tau berbagai
macam informasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dari informasi
tesebut dianalisa dan dicarikan solusinya bila ada hal-hal yang dapat merugikan
kehidupan masyarakat banyak.
Untuk
merealisasikan agent of change dan agent of control, ada beberapa
hal menurut penulis yang perlu dilakukan oleh pemuda untuk mewujudkan generasi
yang mampu membawa perubahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yaitu
sebagai berikut.
Pertama,
pemuda harus mengintegrasikan antara dzikir dan pikir. Berfikir (tafakkur)
dan berdzikir (tadzakur) merupakan keharusan bagi setiap muslim. Orang
mukmin sejati adalah orang yang selalu berdzikir dan berfikir sepanjang waktu
seperti terbaca dengan jelas dalam surah al-Imran ayat 190-191 berikut ini :
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
Artinya :
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Ketika ayat ini
turun, menururt riwayat yang bersumber dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, Nabi SAW ,menangis
dan air matanya meleleh hingga membasahi janggutnya. Lalu, katanya, “celaka
orang yang membacanya, tetapi tidak merenungkan maknanya”. Alam semesta,
menurut ayat di atas, tidak diciptakan sia-sia. Artinya, setiap benda yang ada
di alam ini bersifat teologis dalam arti bergerak dan bekerja memenuhi tujuan
penciptaan. Karena itu, ber-tafakkur tentang alam semesta diyakini dalam
mengantar manusia menemukan Tuhannya. “jangan kau ragukan adanya Tuhan”,
demikian kata Isaac Newton.
Berfikir itu
sendiri, menurut al-Ghazali, di kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, berarti
menghadirkan dua pengetahuan dalam hati untuk kemudian menghasilkna pengetahuan
ketiga (idhar ma’rifataini li yastatsmir minhuma ma’rifah thsalitsah).
Jaid, tafakkur pada hakikatnya adalah kegiatan mencari pengetahuan baru
atas dasar pengetahuan-pengetahuan yang telah ada. Karena itu, dengan tafakkur,
pengetahuan bertambah, dan ilmu pun berkembang. Bagi al-Ghazali, tafakkur
lebih tinggi tingkatannya disbanding berzikir. Berdzi,ir tidak menghasilkan
pengetahuan baru, tetapi menglang penegtahuan yang sudah ada. Sedamgkan tafakkur
, seperti telah dikemukakan, menghasilkan pengetahuan baru. Jadi, dengan
perkataan lain dapat dikatakan bahwa dzikir bersifat dplikatif, sedangkan
berfikir brsifat produktif dan inovatif. Namu, dzikir juga menjadi penting,
karena ia dapat mencerahkan pikiran. Dengan zdikir, pemikiran menjadi produktif
dan inovatif.
Kedua,
pemuda harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana telah
kita ketahui bahwa, tujuan agama menciptakan masyarakat yang rahmatan lil
‘alamin di muka bumi hanya bisa
dicapai lewat paket mengajak kepada yang makruf, mencegah kepada yang mungkar,
serta mengorientasikan seluruh tujuan hidupnya hanya kepada Allah SWT. Jadi,
untuk ketiga aspek yang dijelaskan oleh penulis di atas, harus benar-benar
direalisasikan dalam menjalani kehidupan di muka Bumi. Apa bila kita mengambil
salah satu ketiga aspek tersebut atau tidak direalisasikan salah satunya maka
akan terasa sulit untuk menciptakan masyarakat yang rahmatan lil ‘alamiin.
Menyuruh kepada
yang makruf, mencegah kepada yang munkar dan beriman kepada Allah merupakan
sifat universal manusia. Apa bila kita mengorientasikan diri kita kepada
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar tanpa
mengorientasikan diri kepada Allah, tujuan hidup kita tidak jelas dan rapuh.
Banyak penyimpangan-penyimpangan yang bakal terjadi di tengah perjuangan
disebabkan oleh kepentingan-kepentingan sesaat kelompok tertentu. Hilanglah
sifat universalnya, menjadi berkotak-kotak dan akhirnya bertengkar sendiri
untuk berebut kekuasaan, kebenaran dan manfaat jangka pendek. Ketiga konsep di
atas dapat mengantarkan kita pada pengembangan kulaitas SDM. Sebab konsep amar makruf
dan nahyi munkar dapat mengembangkan kualitas intelektualitras dan moralitas,
sedangkan konsep iman kepada Allah dapat mengembangkan kualitas spiritualitas.
Maka dari itu, generasi muda harus benar-benar menjalankan ketiga aspek di
atas, agar mampu menciptakan masyarakat yang rahmatan lil ‘alamiin.
Ketiga konsep
di atas adalah tugas utama manusia. Apa bila manusia berhasil melakukan hal
demikian, maka bisa dikatakan ummat terbaik. Hal demikian dijelaskan oleh Allah
dalam Qur’an surat al-Imran ayat 110 berikut :
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
Artinya :
“kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Semoga generasi
muda bisa mengerti dan memahami eksistensinya di tengah-tengah masyarakat dan
juga bisa merealisasikan tugas-tugas yang harus dilakukan sebagaimana yang
penulis sebutkan di atas, sihngga pada akhirnya dapat mewujudkan masyarakat
yang rahmatan lil ‘alamiin dan masyarakat yang berkualitas di masa yang
akan datang.