AL HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH
A. Al Ahkam
1.
Pengertian
Al-Ahkam (hukum),
menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah
ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt.
atau sabda Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal
perbuatan mukallaf, baik itu
mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan.
2. Pembagian al-Ahkam
Sebagian besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum menjadi dua
bagian, yakni hukum taklifi dan hukum
wadh’i.
a.
Al Ahkam
Taklifi
Al Ahkam (hukum) Taklifi adalah
khithab Allah Swt., atau sabda Nabi Muhammad Saw., yang mengandung tuntutan,
baik perintah melakukan atau larangan. Hukum Taklifi ada lima, yakni:
1)
Ijab, artinya
mewajibkan atau khithab yang meminta mengerjakan dengan tuntutan yang pasti.
2)
Nadab (anjuran),
artinya menganjurkan atau khithab yang mengandung perintah yang tidak wajib
dituruti.
3)
Tahrim
(mengharamkan), yaitu khithab yang mengandug larangan yang harus dijauhi.
4)
Karahah
(memakruhkan), yaitu khithab yang mengandung larangan, tetapi tidak harus kita
jauhi.
5) Ibahah
(membolehkan), yaitu khithab yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau
ditinggalkan.
b. Al Ahkam
Wadh’i
Al Ahkam (hukum) Wadh’i merupakan
titah Allah SWT. yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan
hukum-hukum taklifi
Hukum Wadh’i ada 3 yakni:
1.
Sebab, merupakan
sesuatu titah yang menjadikan adanya suatu hukum dan dengan tidak adanya sesuatu
itu menjadi lenyapnya suatu hukum.
Contoh:“Barang siapa di antara kamu
melihat bulan itu, hendaklah ia berpuasa.” (Q.S. Al Baqarah 185)
2.
Syarat, merupakan
sesuatu yang karenanya baru ada hukum dan dengan ketiadaanya, tidak akan ada
hukum.
Contoh:
“Wudhu adalah syarat sahnya shalat.”
3.
Mani’
(penghalang), yaitu menerangkan bahwa ada hal yang menghalangi berlakunya
sesuatu hukum. Misalnya, haid yang menghalangi kewajiban shalat bagi wanita.
3. Perbedaan antara Al Ahkam
Taklifi dengan Al Ahkam wadh.i
Perbedaan keduanya dapat dilihat
dari dua hal. Pertama, yang dimaksud
dengan hukum Taklifi adalah menuntut perbuatan, mencegahnya, atau membolehkan
memilih antara melakukan atau tidak melakukannya. Sedang hukum Wadh’i tidak
bermaksud menuntut melarang atau membolehkan memilih, tetapi hanya menerangkan
sebab dan syarat atau halangan suatu hukum.
Kedua, hukum
Taklifi selalu dalam kesanggupan orang mukallaf, baik untuk mengerjakan maupun
untuk meninggalkannya. Adapun hukum Wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan
(disanggupi) mukallaf, kadang-kadang tidak.
B.
AL HAKIM (
PEMBUAT HUKUM )
Pembuat hukum dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan
manusia diatas bumi ini dan Dia pula yang menetepkan aturan-aturan bagi
kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun
untuk kepentingan hidup akhirat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia
dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.
Sebagaimana ditegaskan dakam firman Allah dalam surat al-An’am ayat 57
إِنِ الْحُكْمُ
إِلاَّ للهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan
yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik
Tentang kedudukan Allah sebagai sAtu-satunya pembuat hukum dalam pandangan
islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat islam. Apakah manusia
sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah atau hanya dapat mengenalnya
melalui perantara yang ditetapkan Allah dalam hal ini adala Rasul.mengenai masalah
ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
1.
Pendapat
mayoritas ulama ahlussunnah ."mengatakan
bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah
Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan Allah. Sebagai
kelanjutannya bahwa bila tidak ada Rasul yang membawa wahyu maka tidak ada
hukum Allah dan manusia pun tidak akan mengetahuianya.
2.
Kalangan
ulama mu’tazilah berpendapat bahwa memang Rasul adalah manusia satu-satunya
yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian seandainya
Rasul belum datang mengenalkan hukum Allah tetapi melalui akal yang di berikan
Allah kepada manusia. Ia mempunyai kemampuan mengenalkan hukum Allah
Kedua pendapat ini sepakat dalam
menempatkan Rasul sebagai pembawa hukum Allah dan Rasul sebagai orang yang
berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia.
Bahwa perbedaan dua kelompok
tersebut ada dua hal
1.
Nilai baik
dan buruk dalam suatu perbuatan
2.
Nilai baik
dan buruk itu mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat.
Dalam memahami dua hal tersebut terdapat tiga kelompok ulama’
1.
Kelompok
Asy’ariyah berpendapat bahwa suatu perbuatan dari segi perbuatan itu sendiri
tidak dapat di nilai baik atau buruk, oleh karena akal manusia tidak dapat
mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan baik dan buruknya suatu perbuatan
itu tergantung di perintah atau di larangnya perbuatan itu oleh Allah melalui wahyunya.
2.
Kelompok
mu’tazilah.berpendapat bahwa sesuatu perbuatan dari materi perbuatan itu
sendiri mengandung nilai baik atau buruk. Bila akal dapat mengetahui baik dan
buruknya suatu perbuatan, maka akal memahami bahwa suatu perbuatan yang baik
harus dilakukan dan sesuatu perbuatan buruk harus di tinggalkan.alasannya bahwa
akal manusia dapat memahami berdasarkan kenyakinannya akan keadilan Allah.
Dengan demikian keharusan berbuat atau tidak berbuat sudah ada meskipun wahyu
belum diturunkan oleh Allah.
3.
Kelompok
maturidiyah berpendapat bahwa suatu perbuatan dengan semata melihat pada materi
perbuatan itu mempunyai nilai baik dan
buruk.bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia melakukan suatu perbuatan buruk
dan tidak akan mencegah manusia melakukan perbuatan baik.dalam hal ini kelompok
maturidiyah sependapat dengan kelompok mu’tazilah
Di kalangan ulama’ fiqh kelompok ahlussunnah Hanafiyah mengikuti aliran
maturidiyah dalam hal penilaian baik dan buruk juga dalam hal taklif.
Berdasarkan pendapat ini ,aslahat dan mafsadat
dapat di jadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Namun penetapan
itu baru berlaku secara efektif bila mendapat pengakuan dari wahyu.
C .MAHKUM FIH ( OBJEK HUKUM
)
Mahkum fih adalah Perbuatan mukallaf yang berkaitan
dengan hukum syara’. Dalam ulama’ ushul fiqh yang disebut mahkum fih atau obyek
hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’obyek hukum adalah
perbuatan itu sendiri.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan
mukallaf, seperti:
. 1. Yang berhubungan dengan ijab,
dinamai wajib;
2.
Yang
berhubungan dengan nadb, dinamai mandub/sunnah;
3.
Yang
berhubungan dengan tahrim, dinamai haram;
4.
Yang
berhubungan dengan karahah, dinamai makruh;
5.
Yang
berhubungan dengan ibahah, dinamai mubah.
Sedangkan
sebagian hukum wadh;i ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf
seperti tergelincirnya untuk masuknya kewajiban shalat dzuhur, tergelincirnya
matahari itu sebagai sebab hukum wadh;i dan karena ia tidak menyangkut perbuatan
mukallaf, maka ia tidak termasuk obyek hukum.Para ahli ushul fiqh menetapkan
beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai obyek hukum yaitu:
1.
Perbuatan itu
sah dan jelas adanya tidak memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak
mungkin.
2.
Perbuatan itu
tertentu dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan. Tidak mungkin
berlaku taklif terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas.
3.
Perbuatan itu
sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya.
4.
perbuatan itu
berada dalam batas kemampuan mukallaf. Seorang hamba tidak akan dituntut
melakukan sesuatu yang tidak mungkin melakukannya yang menjadi dasar ketentuan
ini adalah firman Allah.
لاَ
يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah
tidak membebani seseorang kecuali semampunya
Dengan
penjelasan ayat tersebut dapat di pahami bahwa tuhan tidak menginginkan manusia
dalam kesulitan.atau masyaqqah dalam hubungannya dengan obyek
hukum.dalam hal ini ulama’ membagi kesulitan atau masyaqah itu pada dua tingkatan:
1.Masyaqqah
yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya.seperti puasa dan
haji.
2.
Masyaqqah yang tidak mungkin seseorang melakukannya secara berketerusan atau
btidak mungkin dilakukan kecuali dengan
pengerahan tenaga yang maksimal. Seperti berperang dalam jihad dijalan Allah.
Macam-macam Mahkum Fih
Perbuatan yang dihukumkan (Mahkum Fih) itu adalah:
1. Wajib
Perbuatan wajib, yaitu sesuatu perbuatan yang diberikan pahala bila
dikerjakan dan diberi siksa bila ditinggalkan
Contoh Wajib :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ اْلأَنْعَام Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…… (Surat Al-Maidah,
ayat 1).
Ijaab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf,
yaitu memenuhi aqad yang hukumnya wajib.
2. Mandub
Mandub (sunnah) yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala
dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.

…(البقرة ۲۸۲) يَآأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِب
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.... (Surat
Al-Baqarah, ayat 282) .
Nadab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menulis
hutang yang hukumnya mandub (sunat).
3. Haram
Haram ialah larangan keras, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan
mendapat pahala.
Contoh Haram:
الاۤية
(الانعام ۱۵۱وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً
لاَمُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa ... (Surat Al-An’am, ayat 151).
Tahrim yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu membunuh
jiwa yang hukumnya haram.
4. Makruh
Makruh ialah larangan yang tidak keras, jika dilanggar tidak berdosa,
tetapi kalau tidak dikerjakan mendapat pahala.
Contoh Makruh:
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ
فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيم
الاۤية
(البقرة ۲٦٧)
Artinya: Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya… (Surat Al-Baqarah, ayat 267).
Karahah yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan harta yang buruk yang hukumnya makruh.
5. Mubah
Mubah ialah sesuatu yang boleh/tidak dikerjakan. Kalau
dikerjakan/ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa, misalnya makan yang
halal, berpakaian bagus, tidur, dan sebagainya
Contoh Mubah:
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن
كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ
خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ …(البقرة ۱۸٤)
Artinya: Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain... (Surat Al-Baqarah, ayat 184).
Ibahah yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasa dalam keadaan sakit atau dalam
perjalanan, yang hukumnya mubah
D.MAHKUM ‘ALAIHI
Pengertian Mahkum ‘Alaihi
Mahkum ‘alaihi (مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ) = Sobyek hukum ialah: orang-orang
mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan
syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.dalam istilah ushul fiqh
subyek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum yaitu
orang-orang kepadanya diperlakukan hukum.
Bahwa ada dua hal yang harus terpenuhi pada seorang yang dapat disebut mukallaf
( subyek hukum ) yaitu bahwa ia mengetahui tuntutan Allah dan ia mampu
melaksanakan tuntutan tersebut.
Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum
dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana
sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ. (روه
ابوداود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga
orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa,
dan (3) orang gila hingga sembuh kembali”.
Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang
tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan.
Dua hal merupakan syarat taklif atas subyek hukum.
1.
Ia memahami
titah Allah yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan
tahu itu sangat berkaitan dengan akal. karena akal itu adalah alat untuk
mengetahui dan memahami. Sesuai dengan sabda Nabi.
Agama itu didasarkan pada akal tidak ada arti agama bagi orang yang tidak
berakal.
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa subyek hukum yang pertama adalah “
Baligh dan berakal “
2. Ia telah
mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul disebut
ahlun li al taklif kecakapan menerima taklif disebit ahliyah atau
kepantasan menerima taklif. Kepantasan itu ada dua yaitu kepantasan untuk
dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
1. Kecakapan
untuk dikenai hukum atau yang disebut ahliyah al wujud yaitu kepantasan
seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Para ahli Ushul
fiqh membagi ahliyah alwujud menjadi dua tingkatan.
a.
Ahliyah al wujud naqish atau kecakapan
dikenai hukun secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak
tetapi tidak menerima kewajiban.
Contoh : bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atu janin itu telah berhak
menerima hak kebendaan seperti warisa atau wasiat, meskipun ia belum lahir.
Bayi dalam kandungan itu tidak dibebeni kewajiban apa-apa karena secara jelas
ia belum bernama manusia.
b. Ahliyah al
wujud kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu
kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak.
Contoh : anak yang baru lahir, di samping ia berhak menerima warisan ia
juga telah dikenai kewajiban zakat fitrah.
2.
Kecakapan
untuk menjalankan hukum atau yang disebut Ahliyah al-ada’ yaitu
kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut
hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau
perbuatan telah mempunyai akibat hukum.
Kecakapan
berbuat hukum terdiri dari tiga tingkat, setiap tingkat dikaitkan kepada batas
umur seseorang manusia.yaitu:
1. Adim
al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali yaitu semenjak lahir sampai mencapai umur
tamyis sekitar umur 7 tahun.
2. Ahliyah
al-ada naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah yaitu manusia
yang telah mencapai umur tamyis sekitar 7 tahun sampai batas dewasa.
3.kecakapan berbuat hukum secara sempurna atau yang disebut Ahliyah
al-ada’ kamilah yaitu manusia
yang telah mencapai usia dewasa.
E.Dasar Taklif
Sebagai kebijaksanaan Allah SWT., perintah dan larangan (taklif =
pertanggungan jawab, selanjutnya taklifi, selalu disesuaikan dengan kemampuan
(ahliyyah) manusia. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia bagaimanapun juga
macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan,
karena itu, kemampuan ini menjadi dasar adanya taklif.
Halangan Ahliyyah
Hal-hal yang menggugurkan taklif dalam Ilmu Ushul Fikih disebut :
عَوَارِضُ الأَهْلِيَّةِ(hal-hal
yang menghilangkan Keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1. سَمَاوِيَّةُعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar
usaha dan kehendak manusia. Seperti gila, agak kurang waras akalnya, dan lupa.
2. كَسْبِيَةٌعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak
manusia. Seperti mabuk, bodoh, dan hutang.
Taklif terhadap orang kafir.
Apakah
islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain : apakah non muslim dengan kekafirannya itu
dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak ?
Dalam hal
ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’
Pertama, bahwa
tidak ada hubungan antara persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i
adalah imam asyafi’i, hanafi dan mayoritas ulama’ mu’tazilah berpendapat bahwa orang-orang
kafir dikenai beben hukum untuk melaksanakan syari’at.
Ayat-ayat
Al quran yang memerintahkan ibadat secara umum juga menjangkau orang
kafir.diantaranya surat al baqarah ayat 21.
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُم.......
Artinya :
hai umat mnusia sembahlah tuhanmu.
Kedua pendapat
dari sebagian ulama’ syafi’iyah dan sebagian mu’tazilah. Bahwa orang kafir itu
tidak dibebani tklif untuk melaksanakan ibadah.
Ketiga kelompok ulama’ yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk
meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan,
karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk
meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak
berbuat tidak diperlukan niat.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan Al-Ahkam (hukum), menurut bahasa
artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedang menurut istilah ialah ‘Khithab (titah) Allah Swt. atau sabda
Nabi Muhammad Saw. yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik itu mengandung perintah,
larangan, pilihan, atau ketetapan.,
Al hakim :Pembuat
hukum dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia diatas
bumi ini dan Dia pula yang menetepkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia.
mahkum fih atau obyek
hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’obyek hukum adalah
perbuatan itu sendiri. Sedangkan Mahkum ‘alaihi Sobyek hukum ialah: orang-orang
mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan
syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.
Kamis, 07 April 2011
Makalah Ushul Fiqh
BAB I
PENDAHULUAN
Dikalangan ummat
manusia islam tidak ada perselisihan
pendapat mengenai, bahwasannya sumber hokum syar’iyyah bagi seluruh
perbuatan orang-orang mukallaf adalah Allah SWT. Baik hukumnya mengenai
perbuattan mukallaf ittu telah diwahyukan kepada rasulnya attaupun dia memberi
petunjuk kepada para mujtahit untuk mengetahui hukumnya pada perbuatan mukallaf
dengan perantaraan dalil-dalil dan tanda-tanda yang telah disyari’atkannya
untuk mengistimbatkan hukumnya. Oleh karena inilah, ada kesepakan kata dianara
mereka mengenai defenisi hokum syara’ sebagai kittab Allah yang berhubungan
dengan perbuatan seorang mukallaf. Berupa tuntutan atau suruhan memilih atau
ketetapan.
BAB II
PEMBAHASAN
AL-HUKMU, HAKIM, MAHKUM FIH, MAHKUM ‘ALAIH
A. Pengertian
Hukum
Agama Islam itu
mempunyai syari’at (jalan) tertentu untuk mengatur hidup manusia. Jalan
mengatur kehidupan itulah yang sering dinamakan orang dengan syari’at Islam
atau hukum Islam. Segenap ummat Islam dalam kehidupannya di dunia ini haruslah
menyesuaikan dirinya dengan syari’at Islam itu.
Menurut kaifiyat, hukumitu artinya
“menetapkan sesuatu atas sesuatu”. Ejaannya dalam bahasa Arab ialah Al-Hukm,
sebab itu berdasarkan ilmu bahasa, hukum Islam yang mana bersumber dari Allah
disebut “hukmullah” berarti ketetapan Allah. Telah menjadi keyakinan yang pasti
dalam Islam bahwa yang menetapkan hukum (Hakim) itu ialah Allah Swt.
Artinya : “Tak ada hukum melainkan bagi Allah”.
Menurut ulama
Ushul Fiqh, hukum itu ialah :
Artinya : “Titah Allah tentang tingkah laku perbuatan manusia mukallaf, baik yang
diperintahkan, yang dilarang maupun yang dibolehkan. Demikian pula tentang
keadaan-keadaan tertentu menjadi sebab, atau menjadi syarat atau menjadi
penghalang bagi berlakunya”.
Dengan memahami
defenisi hukum seperti yang dikemukakan di atas, maka hukum ialah nama bagi
segala titah Allah atu sabda Nabi, baik itu mengandung “perintah”, “larangan”
ataupun ia bersifat “pilihan”. Ataupun titah itu menyatakan sebab, syarat,
halangan, sesuatu pekerjaan.[1][1]
Hukum syara’
menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah : Khithab syari’ yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan,
pilihan, atau ketetapan.
Artinya : “Penuhilah janji”.
Ini merupakan
khitab dari syari’ yang bersangkutan dengan pemenuhan berbagai janji, dalam
bentuk tuntutan mengerjakannya.
Juga firman Allah
Swt :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw öy‚ó¡o„ ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽöyz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽöyz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâ“ÏJù=s? öä3|¡àÿRr& Ÿwur (#râ“t$uZs? É=»s)ø9F{$$Î ( }§ø©Î ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y‰÷èt Ç`»yJƒM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$#
Artinya : “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang
lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan
itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Hujurat : 11).
Nash yang keluar
dari Syara’ yang menunjukkan bentuk tuntutan, pilihan atau penetapan itulah
yang disebut hukum syara’ dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh. Ini sesuai
dengan istilah para hakim dewasa ini. Mereka memaksudkan hukum sebagai teks
putusan yang keluar dari hakim itu sendiri. Oleh karena itulah mereka berkata :
Bunyi hukumnya begini. Mereka berkata : “Kasus telah menjelaskan bunyi hukum”.
Dari defenisi
hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh, yaitu khithab syari’
yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, maka seseorang akan
salah faham bahwasanya hukum syara’ adalah khusus nash-nash saja. Karena hanya
nashlah khitab dari syara’ dan ia tidak meliputi dalil-dalil syara’ lainnya,
yaitu ijma’ atau qiyas atau yang lainnya, karena dalil-dalil lain tersebut
bukanlah nash ketika dibuktikan pada nash. Namun pada hakikatnya ia adalah
khithab dari syari’, akan tetapi tidak bersifat langsung. Dengan demikian,
setiap dalil syar’i yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf, baik dalam
bentuk tuntutan, pilihan, atau penetapan adalah hukum syar’i menurut istilah
para ahli ilmu ushul fiqh.[2][2]
B. Pembagian
Hukum
Dari defenisi
hukum syara’ menurut beberapa pndapat, hukum tesebut terbagi kepada dua bagian.
Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan sebagai : hukum taklifi, dan menyebut hukum yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi penetapan sebagai : hukum wadh’i. Oleh karena inilah, maka
mereka menetapkan bahwasanya hukum syara’ terbagi kepada dua bagian :
1. Hukum
Taklifi
Hukum taklifi
adalah sesuatu yang menuntut suatu pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut
untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya.
Contoh sesuatu
yang menuntut pengerjaan dari mukallaf adalah firman Allah Swt :
õ‹è{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y‰|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.t“è?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgø‹n=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y™ öNçl°; 3 ª!$#ur ìì‹ÏJy™ íOŠÎ=tæ
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…”.
(QS. At-Taubah : 103).
Dan
firman-Nya :
y7Ï9ºsŒ óOßg¯Rr'Î (#qä9$s% `s9 $oY¡¡yJs? â‘$¨Y9$# HwÎ) $YB$ƒr& ;NºyŠr߉÷è¨B ( öNèd¡xîur ’Îû OÎgÏYƒÏŠ $¨B (#qçR$Ÿ2 šcrçŽtIøÿtƒ
Artinya :”Mengerjakan haji ke Baitullah adalah
kewajiban manusia terhadap Allah”. (QS. Ali- Imran : 24).
Selanjutnya firman-Nya :
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4‘n=÷FムöNä3ø‹n=tæ uŽöxî ’Ìj?ÏtèC ωøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts† $tB ߉ƒÌãƒ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
(QS Al-Maidah : 1).
Dan nash-nash
lain yang menuntut mukallaf untuk mengerjakan perbuatan.
Contoh sesuatu
yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan ialah firman Allah Swt. :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw öy‚ó¡o„ ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽöyz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽöyz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâ“ÏJù=s? öä3|¡àÿRr& Ÿwur (#râ“t$uZs? É=»s)ø9F{$$Î ( }§ø©Î ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y‰÷èt Ç`»yJƒM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$#
Artinya : Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari
mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS.
Al-Hujurat : 11).
Dan frman-Nya :
Ÿwur (#qçtø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™ ÇÌËÈ
Artinya
: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’ :32).
Sedangkan contoh hokum yang
menghendaki pilihan oleh mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkannya,
aialah firman Allah Swt. :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤¶9$# tP#tptø:$# Ÿwur y“ô‰olù;$# Ÿwur y‰Í´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§‘ $ZRºuqôÊÍ‘ur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtBÌøgs† ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r‘‰|¹ Ç`tã ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#r߉tG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø)G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah. dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah
: 2).
2.
Hukum Wadh’i
Hokum wadh’i
terbagi kepada lima bagian, karena berdasarkan penelitian diperoleh ketetapan,
bahwasanya hokum wadh’i ada kalanya
menghendaki untuk menjadikan sesuatu menjadi sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat, atau menjadi penghalang,
atau menjadi pemboleh adanya rukhshah
(keringanan hokum ) sebagai ganti ‘azimah,
sah atau tidak sah.[3][3]
C. Pengertian
Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti “orang
yang memutuskan hokum”. Dalam istilah fiqh kata hakim juga dipakai sebagai
orang yang memutuskan hokum di pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi.
Dalam kajian Udhul Fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hokum
syari’at secara hakiki.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi
sumber atau pembuat hakiki dari hokum syari’at adalah Allah. Hal itu
ditunjukkan oleh Al-Qur’an dalm surat Al-An’am : 57 :
ö@è% ’ÎoTÎ) 4’n?tã 7puZÉit `ÏiB ’În1§‘ OçFö¤‹Ÿ2ur ¾ÏmÎ 4 $tB ”ωZÏã $tB šcqè=ÉÚ÷ètGó¡n@ ÿ¾ÏmÎ 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ( Èà)tƒ ¨,ysø9$# ( uqèdur çŽöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$#
Artinya : “Katakanlah: "Sesungguhnya
aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu
mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan
kedatangannya. menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik". (QS. Al-An’am : 57).
Meskipun para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa
pembuat hokum hanya Allah., namun mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah
hokum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan
datangnya Rasulullah., atau akal secara independen bisa juga mengatahuinya.
Perbedaan pendapat ini berpangkal dari perbedaaan pendapat tentang fungsi akal
dalam mengetahui baik dan buruk suatu hal.[4][4]
D. Pengertian
Mahkum Fih
Mahkum fih
berarti “perbuatan orang mukallaf sebagai tempat menghubungkan hokum syara’.
Misalnya, dalam surat almaidah Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hokum-hukum menurut yang
dikehendakiNya.” (Qs. Al-Maidah:1)
Yang menjadi
objek perintah dari ayat tersebut adalah perbuatan orang mukalaf yaitu
perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dari ayat tersebut.
E. Syarat
Mahkum Fih
Ada beberapa persyaratan bagi sahnya suatu
perbuatan hokum :
1. Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan
rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan demikian suatu perintah, misalnya,
dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah dan
Rosul-Nya. Oleh karena itu seperti dikemukakan oleh Abd al-Wahab Khallaf,
ayat-ayat Al-qur’an yang diturunkan secara global, baru wajib dilaksanakan
setelah ada penjelasan dari Rasul-Nya. Misalnya., ayat Al-Qur’an yang
mewajibkan shalat secara global tanpa merinci syarat dan rukunnya, baru wajib
dilaksanakan setelah ada penjelasan secara rinci dari Rasulullah. Demikian pula
ayat yang memerintahkan unttuk melaksanakan haji, zakat, serta puasa.
2. Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf
bahwa itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini
adalah Allah dan Rasulnya. Itulah sebabnya
maka setiap upaya mencari pemecahan hokum, yang paling pertama dilakukan
adalah pembahasan tenttang validitas suatu dalil sebagai suatu sumber hokum.
3. perbuatan
yang diperintahkan atau dilarang adalah harus berupa perbuaan yang dalam
batas kemampuan manusia untuk melakukannya atau meninggalkannya. Hal itu
disebabkan karena tujuan dari suatu perintah atau larangan adalah untuk
ditaati. Oleh sebab itu, ttidak mungkin ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah perintah
yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia.
F. Pengertian
Mahkum ’Alaih
Mahkum ‘alaih
berarti” orang mukalaf (atau orang yang layak dibebani hukum taklifi)”. Atau juga orang mukalaf yang
dengan perbuatannyalah hukum syari’at berkaitan.
G. Syarat
Mahkum ‘Alaih
Adapun
syarat-syarat seorang yang dibebani hokum taklifi sebgai berikut:
1.Mukalaf
dapat memahami dalil taklif, seperti jika dia mampu memahami nash-nash
undang- undang yang dibebankan dari Al-Quran dan As-Sunnah dengan langsung
atau dengan perantaraan. Karena sesungguhnya orang yang tidak sanggup memahami
dalil pentaklifan, maka ia tidak mungkin unuk melaksanakan sesuatu yang
ditaklifkan kepadanya, dan idak bias pula mengarahkan maksudnya kepadanya. [5][5]
2.Mukalaf
haruslah layak untuk dikenakan taklif. Ahliyyah, maknanya adalah dalam bahasa
Arab ialah: kelayakan. Dikatakan si fulan ahli mengawati terhadap pewakaf,
artinya layak untuknya. [6][6]
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Jadi, setiap hukum diantara hokum-hukum syar’I
wajib berhubunga dengan perbuatan diantara perbuatan-perbuatan mukallaf dari
segi tuntutan atau perintah memilih. Diantara hal yang telah ditetapkan.,
yaittu bahwasanya tidak ada tuntutan kecuali dengan perbuatan. Artinya bahwa hokum Syari’ yang
bersifat tuntutan itu tidak
berhubungan dengan perbuatan
mukallaf. Maka apabila hokum syari’ itu Ijab atau Nadb, maka persoalannya
jelas. Karena hubungan Ijab itu adalah perbuatan wajib atas jalan yang pasti.,
saedangkan perbuatan Nadb adalah perbuatan sunnattidak atas jalan yang pasti
atau tetap. Maka tuntutan dalam dua keadaan itu adalah dengan perbuatan.
Apabila
hokum Syari’ atau berupa Tahrim atau Karohah., maka yang diuntut dengan hokum
syari’ itu adalah dalam dua keadaan tersebut adalah perbuatan juga. Karena
perbuatan itu adalah menahan nafsu dari mengerjakan perbuatan yang halal
ataupun haram. Maka, pengertian pendapat ulama bahwa, ttidak ada tuntutan
kecuali dengan perbuatan, adalah perbuatan yang meliputi menahan hawa nafsu.
Artinya mencegah nafsu untuk berbuat. Dengan demikian semua perintah atau
larangan adalah berhubungan dengan perbuatan mukalllaf. Didalam perintah, yang
dituntut adalah mengerjakan yang diperintahkan, sedangkan didalam larangan yang
dituntut adalah meninggalkan apa yang
dilarang.
b. Kritik dan Saran
Dalam
makalah ini yang berjudul,AL-HUKMU, HAKIM, MAHKUM FIH, MAHKUM ‘ALAIH,
yang telah disusun oleh pemakalah masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan baik dalam kalimat, kata-kata, maupun dalam pembahasannya
secara keseluruhan. Oleh karena itu pemakalah atau penulis sangat mengharapkan
partisifasi dari para pembaca dalam mengkritik demi membangun makalah ini untuk
kedepannya agar lebih sempurna lagi. Kemudian harapan penulis agar makalah ini
dapat dijadikan sebagai pegangan ilmu pengetahuan terutama yang menyangkut
tentang masalah ini (diatas).
DAFTAR PUSTAKA
·
Drs. H. Husnan Budiman, Pengantar
Ilmu Fiqh, (Usaha Nasional: Surabaya) 1982Prof. Abdul
· Wahhab Khallaf,
Ilmu Ushul Fiqh, (Dina Utama :
Semarang) 1994
- Prof. Dr. H. Satria Effendi. dkk, Ushul Fiqh, (Kencana Renada Media Group : Jakarta) 2009
- Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-kaidah hokum islam, (Raja Wali Pers: Jakarta), 1993
AL-HAKIM, AL-MAHKUM FIH DAN AL-MAHKUM ‘ALAIH
AL-HAKIM, AL-MAHKUM FIH DAN AL-MAHKUM ‘ALAIH
I. AL-HAKIM
A. Pengertian Al-Hakim
Kata
hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam fiqih,
istilah hakim semakna dengan qadhi. Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti
pihak penentu dan pembuat hukum syara’ secara hakiki.
B. Siapa Penentu Hakiki Hukum Syara’?
Ulama
Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syari’at
adalah Allah Swt. Firman-Nya :
إنِ الحكمُ
إلا لِلّه يقصّ الحق وهو خير الفاصلين
Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am: 57)
C. Dengan Apa Hukum Allah Itu Dapat Diketahui?
Ada
tiga pendapat :
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi kepada dua kategori: (1)
Perbuatan yang sifat baik atau buruknya berdasarkan sifat sifat
esensial (hasan lidzātih dan qabīh lidzātih). Kekuatan akal yang sehat secara independen
mampu mengetahuinya. Fungsi wahyu untuk memberitahukan suatu perbuatan adalah
baik atau buruk, dikemas dalam bentuk perintah dan larangan. (2) Perbuatan yang
tidak dapat diketahui oleh akal terhadap nilai baik dan buruknya, seperti
ibadah dan cara-caranya. Secara mutlak, diperlukan wahyu untuk mengetahui baik
buruknya.
Golongan Maturidiyah membagi sesuatu perbuatan itu kepada: Hasan
lidzātih, qabīh lidzātih, dan sesuatu yang ada diantara keduanya dan ini
tergantung pada perintah dan larangan Allah Swt. Menurut mereka, akal semata
tidak dapat dijadikan landasan hukum, setiap hukum haruslah bereferensi kepada
wahyu.
Golongan Asy’ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan
buruk menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sifat yang datang
kemudian, bukan bersifat esensial. Yang membuat sesuatu baik atau buruk adalah
perintah atau larangan Allah Swt, akal tidak mempunyai kewenangan
menetapkannya.
II. AL-MAHKUM FIH
A. Pengertian Mahkum Fih
Mahkūm
Fīh adalah :
فعل المكلف الذي تعلق به حكم الشارع
Perbuatan
orang mukallaf yang berkaitan dengan
hukum syara’.
Contoh
1 : Perintah Allah dalam Firman-Nya : [ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ/ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.
(QS. Al-Maidah:1)] berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu perbuatan
memenuhi akad-akad yang diwajibkan.
Contoh
2 : Perintah Allah dalam firman-Nya : [يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ/ Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. QS. Al-Baqarah:282)]
berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu menulis hutang yang disunnahkan.
Contoh
3 : Larangan Allah dalam firman-Nya : [وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا
بِالْحَقِّ / dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS. Al-An’am:151)], berkaitan dengan
perbuatan orang mukallaf, yaitu membunuh jiwa yang diharamkan.
Contoh
4 : Larangan Allah dalam firman-Nya : [وَلاَ
تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ/ Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan daripadanya,(QS. Al-Baqarah:267)], berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf, yaitu menginfakkan harta yang buruk yang dimakruhkan.
Contoh
5 : Perintah Allah dalam firman-Nya : [وَإِذَا
حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا/
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.
(QS.al-Maidah:2)], berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berburu setelah
selesai melaksanakan ibadah haji yang dibolehkan.
Jadi setiap hukum syara’
mesti berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan
atau perintah (perintah melakukan atau perintah meninggalkan), menyuruh memilih antara melakukan dan
meninggalkan, ataupun dalam bentuk ketentuan.
B. Syarat-Syarat Mahkūm Fīh
Suatu perbuatan bisa
menjadi tugas bagi seorang mukallaf,
jika memenuhi tiga syarat :
1.
Perbuatan itu diketahui
secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga suatu perintah dapat
dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Ayat-ayat al-Quran yang bersifat global, baru
wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan secara rinci tatacaranya dari
Rasulullah Saw. seperti shalat, puasa, zakat, haji, dsb.
2.
Diketahui
secara pasti oleh mukallaf bahwa perintah itu datang dari Allah Swt dan
Rasul-Nya. Itulah sebabnya setiap upaya mencari pemecahan hukum, yang paling
utama dilakukan adalah pembahasan tentang otoritas suatu dalil sebagai sumber hukum.
3. Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang
haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan
atau meninggalkannya.
Pembagian Masyaqqah
Dari
syarat ketiga, yakni perbuatan taklif itu dapat dikerjakan, muncul persoalan masyaqqah
(kesulitan). Apakah boleh diterapkan taklif/pembebanan terhadap amalan yang
mengandung masyaqqah? Dalam hal ini ulama
membagi masyaqqah kepada dua macam :
a.
Masyaqqah
Mu’tadah (kesulitan yang biasa). Yaitu berada pada kapasitas manusia untuk
melaksanakannya, artinya perbuatan tersebut dianggap mampu untuk dilaksanakan,
misal shalat, zakat, puasa, haji, dst bagi manusia tidak sulit untuk dilakukan.
Melaksanakan syari’ah punya hikmah tersendiri, ibarat dokter mengobati pasien
dengan pil pahit untuk kesembuhan/kebaikan pasien.
b.
Masyaqqah
Ghair Mu’tadah (kesulitan yang tidak biasa). Yaitu kesulitan di luar kapasitas manusia,
yakni jika ada perintah untuk melaksanakan perintah di luar kapasitas manusia
maka hal itu otomatis tidak mengandung kewajiban melaksanakan bagi mukallaf.
Misal, puasa sepanjang tahun, shalat sepanjang malam, haji dengan jalan kaki,
beribadah namun membahayakan keselamatn jiwa, dst.
Masyaqqah
jenis ini apabila zat perbuatan itu memberatkan mukallaf, maka Allah
mensyari’atkan rukhshah. Firman Allah :
وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS.
Al-Hajj : 78).
Firman
Allah juga :
يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS.
Al-Baqarah : 185)
Jika
si mukallaf memaksakan diri untuk melakukannya, maka Allah melarang dan
mengharamkannya. Oleh karena itu Rasulullah saw melarang puasa wishal (terus
menerus), melarang qiyamulai di sepanjang malam dan dari kehidupan kependetaan.
Beliau bersabda :
"أما
والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم؛ ولكني أصوم وأفطر، وأصلي وأرقد، وأتزوج النساء،
فمن رغب عن سنتي فليس مني"
“Sesungguhnya
saya orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah, tetapi saya puasa
dan berbuka, shalat dan tidur, dan
kawin. Siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku”.
(HR. Bukhari, Muslim, dan An-Nasai)
C. Macam-macam mahkum Fih
Dilihat
dari segi keberadaanya secara material dan syara, mahkum fih terdiri dari 4
macam :
a.
Perbuatan yang
ada secara material, tetapi tidak terkait dengan syara (tidak menimbulkan
akibat hukum syara), seperti makan dan minum
b.
Perbuatan yang
ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukuman, seperti pembunuhan
menjadi sebab adanya hukuman qishash.
c.
Perbuatan yang ada secara material, dan baru
bernilai syara apabila memenuhi rukun dan syarat, seperti shalat dan haji.
d.
Perbuatan yang ada secara material dan diakui
syara’, serta mengabitkan munculnya hukum syara yang lain, seperti nikah mengakibatkan
halalnya hubungan seks, kewajiban nafkah.
III. MAHKUM 'ALAIH
A. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama ilmu ushul
mengatakan bahwa mahkum alaihi adalah :
هُوَ
الْمُكَلَّفُ الِّذِي تَعَلَّقَ حُكْمُ الشَّارِعِ بِفِعْلِهِ
Yaitu mukallaf yang
perbuatannya berkaitan dengan hukum syari’.
Jadi mukallaf itu
merupakan definisi lain dari mahkum ‘alaih.
Secara etimologi mukallaf merupakan derivasi dari kata kallafa yang maknanya adalah
membebankan. Karena itu
secara etimologi pengertian mukallaf berarti yang dibebani hukum.
Secara terminologi : mukallaf adalah orang yang telah dianggap
mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun
larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh aktivitas mukallaf memiliki
implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia
maupun di akhirat.
B. Syarat-Syarat Mahkūm ‘Alaih
Seorang
mukallaf dianggap shah menanggung beban hukum menurut syara’, bila mereka
memenuhi dua syarat :
1.
Seorang Mukallaf harus
dapat memahami dalil taklif (pembebanan),
Yaitu ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan al-Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara. Sebab orang yang tidak mampu memahammi dalil taklif tentu tidak akan dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan taklif tidak akan tercapai.
Yaitu ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan al-Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara. Sebab orang yang tidak mampu memahammi dalil taklif tentu tidak akan dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan taklif tidak akan tercapai.
Kemampuan untuk
memahami dalil itu hanya diperoleh melalui akal, yang diasumsikan dengan kedewasaan. indiksi
kedewasaan laki-laki adalah mimpi basah.
Sedang bagi pereampuan keluar darah haidh. Hal ini sejalan dengan firman Allah
Swt dalam surat an-Nur : 59
وَإِذَا بَلَغَ
الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ
“Apabila anakmu
samapi umur baigh,maka hendaklah mereka minta izin, seperti oarang-orang yang
sebelum mereka minta izin...”
Atas dasar itulah anak-anak, orang gila, orang yang lupa, tidur, mabuk dan
orang dalam keadaan terpaksa tidak
dikenai baban hukum karena tidak adanya akal yang digunakan untuk memahami apa
yang dibebankan. Sebagaimana
Hadits Rasulullah:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ
حَتَّى يَعْقِلَ
”Diangkatlah
pena itu (tidak dicatat amal perbuatan manusia) dari tiga orang: orang yang
tidur hingga terbangun, anak-anak hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia
berakal”. (H.R. Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Beliau juga bersabda :
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ
وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah memaafkan umatku karena tersalah, lupa dan dalam keadaan terpaksa.
(HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
Beliau juga
bersabda:
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنْ الصَّلَاةِ أَوْ
غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمْ
الصَّلَاةَ لِذِكْرَى
“Barang siapa yang tidur sampai tidak melakukan shalat (habis waktunya)
atau lupa mengerjakannya, maka hendaklah dia shalat ketika dia ingat, karena sesungguhnya
Allah SWT berfirman : Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku”. (HR. Muslim dan
lainnya
Kemampuann akal untuk memahami maksud khitab syar’I ini tidak hanya secara global, tetapi juga harus secara terperinci. Sementara khitab syar’i itu tersusun dalam
bahasa Arab, maka bagaimana status hukum bangsa di luar Arab?
Syekh Abdul Wahhab Khallaf menegaskan : “Adapun orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan as-Sunnah, sperti orang-orang Jepang, India, Indonesia, dan lainnya, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa Arab dan dapat memahami nash-nash bahasa Arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa mereka...”
Syekh Abdul Wahhab Khallaf menegaskan : “Adapun orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan as-Sunnah, sperti orang-orang Jepang, India, Indonesia, dan lainnya, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa Arab dan dapat memahami nash-nash bahasa Arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa mereka...”
2.
Mukallaf
haruslah ahli (harus cakap dalam bertindak hukum) dengan sesuatau yang
dibebankan kepadanya. Berdasarkan konsep ini, maka seluruh perbuatan orang yang
belum atau tidak mampu dan cakap bertindak hukum, maka semua amal mereka tidak
diketegorikan sebagi delik hukum. Misalnya anak kecil atau orang gila. Untuk lebih jelasnya, persyaratan ini akan dibahas pada topik di bawah ini.
Pengertian Ahliyah :
Secara etimologi,
ahliyyah berarti الصلاحية /
kecakapan menangani suatu urusan.
Secara terminologi,
ahliyyah adalah :
صفة يُقدّرها
الشارعُ في الشخص تَجعلُه محلاّ صالحا لخطاب تشريعي
Suatu sifat yang dimiliki
seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenai tuntutan syara’.
Ahliyyah ada 2 macam :
1.
Ahliyyah al-Wujub (keahlian wajib), yaitu
sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi
belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misal: ia telah berhak menerima
hibah, jika hartanya dirusak orang lain, ia diangap mampu menerima ganti rugi.
Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta waris. Namun, ia dianggap
belum mampu untuk dibebani kewajiban syara’ seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya. Maka walaupun
ia mengerjakan amalan tersebut statusnya
sekedar pendidikan bukan kewajiban. Ukuran yang digunakan adalah sifat
kemanusiaannya yang tidak dibatasi umur, baligh, kecerdasan. Bayi dan anak
kecil termasuk kategori ini.
2.
Ahliyyah al-Ada`(keahlian
melaksanakan), yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang
yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh
perbuatannya, baik positif maupun negatif. Ukurannya adalah ‘aqil, baligh dan
rusyd (cerdas). Allah berfirman : “وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا
النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ
أَمْوَالَهُمْ/ Dan ujilah anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya” (QS. An-Nisa`: 6).
Keadaan Manusia Berkenaan dengan Ahliyah al-Wujub (keahlian wajib)
Jika
kehalian wajib ini dihubungkan dengan keadaan manusia, maka ia terbagi pada dua
bagian, yaitu:
1. Keahlian Wajib yang tidak sempurna. Yaitu mukallaf layak mendapatkan hak tetapi
tidak harus menunaikan kewajiban atau sebaliknya. Contohnya; janin dalam
kandungan. Janin sudah dianggap memiliki Ahliyyatul al-wujub, tetapi
belum sempurna. Para ahli ushul fiqh sepakat dia telah layak mendapatkan hak
keturunan dari ayahnya, memperoleh bagian waris.
Keahlian wajib yang sempurna. Yaitu jika
mukallaf layak menerima hak dan melaksanakan kewajiban. Keahlian ini berlaku
bagi seorang anak ayang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan
berakal, sekalipun akalnya masih kurang. Ia telah memperoleh hak-haknya sebagai
manusia secara umum, baik ia cakap atau tidak cakap.
Keadaan Manusia Berkenaan
dengan Ahliyah al-Ada’ (keahlian melaksanakan)
Manusia sebagai subyek
hukum, bila dikaitkan dengan keahlian ini, maka ia terbagi pada tiga bagian,
yaitu :
Terkadang tidak memiliki
keahlian sama sekali . Keadaa ini dimiliki oleh
anak kecil dan orang gila, karema keduanya belum memiliki, sehingga mereka
belum memiliki keahlian melaksanakan. Seluruh aktivitas mereka tidak melahirkan
implikasi-implikasi hukum. Jika mereka melakuakan akad jual beli, akad mereka
dianggap batal. Maka
jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum perdata maupun hukum
pidana seperti membunuh, maka hukumannya hanya bersifat harta, bukan pada
fisiknya.
Terkadang manusia memiliki
keahlian melaksanakan yang tidak sempurna. Keadaan ini terjadi pada
bayi di usia tamyiz sampai dewasa termasuk orang yang kurang akal, yang dimulai
sekitar umur tujuh tahun. untuk kondisi yang akalnya lemah dan kurang, maka ia
dihukumi seperti anak kecil yang mumayyiz. Mereka pada dasarnya telah cakap
karena telah memiliki syarat ahliyyatul wujub, tetapi masih kurang pada sisi
ahliyyatul ada’nya sehingga mereka dianggap sah melakukan pengeloloaan yang
bermamfaat (possitif) untuk dirinya sendiri, seperti menerima hibah dan
sedekah, melakukan transaksi tanpa seizin walinya.
Terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yanng sempurna, yaitu orang baligh dan berakal sehat. Pada
fase ini, saluruh
aktivitas mukallaf telah memiliki dampak hukum, baik dalam perkara ibadah
maupun muamalah. Hanya saja dalam masalah akad, transaksi dan penggunanaan
harta, walaupuan dia telah dewasa (baligh), akan tetapi jika mereka dipandang
tidak cakap, maka para ulama sepakat tidak memperbolehkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam
surah an-Nisa’; 5 :
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ
الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Penghalang Keahlian (‘awaridh al-ahliyyah)
1.
‘Aridh Samawiy, yaitu halangan yang datangnya dari Allah.
Halangan yang tidak diupayakan dan diusahakan oleh manusia, seperti gila.
2.
‘Aridh Kasbiy, yaitu halangan yang disebabkan oleh manusia.
Halangan ini sumbernya ada dua :
a.
Mm dari diri
sendiri, yaitu pingsan, gila, lupa, tidur.
b.
dari orang lain
seperti dipaksa, mabuk.
(والله
أعلم الصواب)
[2][2] Prof. Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dina
Utama : Semarang) 1994. hlm 142-144
[3][3] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, Dina Utama
: Semarang, 1994
[4][4] Prof. Dr.
H. Satria Effendi. dkk, Ushul Fiqh, (Kencana Renada Media Group :
Jakarta) 2009, hlm 68
[5][5] Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, : Semarang, 1994. Hal 199
[6][6] Abdul
Wahhab Khallaf, kaidah-kaidah hokum
islam, (Raja Wali Pers: Jakarta),