ILMU
TAFSIR SEBAGAI
MEDIA MEMBANGKITKAN KEJAYAAN ILMU PENGETAHUAN ISLAM
MAKALAH
Disusun
guna memenuhi diskusi
ilmiah kampus
Disusun
Oleh :
AHMAD 1504232291
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak
yang menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an
adalah kitab suci bagi umat Islam yang
memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.[1]
Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Al-Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah kering
airnya, gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya
tidak pernah habis, dapat dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan
memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam
kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin, Al-Qur’an
merupakan sumber keamanan, motivasi, dan inspirasi, sumber dari segala sumber
hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya. Di dalamnya terdapat
dokumen historis yang merekam kondisi sosio ekonomis, religious, ideologis,
politis, dan budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat
besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang
simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.[2]
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalm
berbagai aspek kehidupan manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka (open
ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan dalam perspektif metode tafsir
maupun perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dari sini muncullah
ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya
ilmu tafsir. Makalah ini akan membahas tentang pengertian ilmu tafsir, tafsir d
lam perspektif historis, tafsir dalam perspektif metodologis, dan pentingnya
ilmu tafsir sebagai media membangktkan kejayaan ilmu pengetahuan islam. Tujuan
akhir dalam penulisan makalah ini adalah untuk membangkitkan pemahaman dan
pengetahuan orang-orang islam yang berkaitan dengan ilmu tasir itu sendiri.
B. Definisi Tafsir
Para pakar ilmu
tafsir banyak memberi pengertian baik secara etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa
kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus
Lisan al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
wur y7tRqè?ù't @@sVyJÎ/
wÎ)
y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur
#·Å¡øÿs?
ÇÌÌÈ
“Tidaklah orang-orang
kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami
datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”[3]
Sedangkan
secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para pakar. Al-Zarqoni
menjelaskan tafsir adalah
ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan
menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[4]
Menurut Abû
Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai
ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
maupun tersusun, dan makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.[5]
Ilmu tafsir
merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan sumber
segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir
telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern
sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin mendesak lantaran untuk
kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan
kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap
Al-Qur’an, kitabullah.[6]
Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi penting
untuk diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan
perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat
“tafsir” dengan ulama terdahulu. Dibawah
ini akan penulis akan mepaparkan ulasan mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari
masa klasik sampai modern.
C. Tafsir Dalam
Perspektif Historis
1. Tafsir pada Masa Klasik
Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada masa
klasik, penulis akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni (1). Tafsir pada
masa Nabi dan Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa
kodifikasi (pembukuan).
a.
Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan
penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi pun menjadi
sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui
makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan
dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih
mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan
pada Nabi.[7]
Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan
yang dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44
bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an.
!$uZø9tRr&ur
y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9
Ĩ$¨Z=Ï9 $tB
tAÌhçR
öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt
ÇÍÍÈ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan”.
Sahabat-sahabat
Rasul yang mulia tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika Rasul masih hidup.
Rasul sendirilah yang memiliul tugas menafsirkan Al-Qur’an. Memang apabila
mereka tidak mengetahui suatu lafadz Al-Qur’an atau maksud suatu ayat,
segerahlah mereka bertanya kepaa Rasul sendiri atau kepada sahabat yang
dipandang apat menjelaskannya. Contoh : ketika para sahabat bertanya tentang
tafsiran kata “dhulma” dalam surat Al-An’am ayat 82, maka Rasul
menerangkan kepada mereka bahwa yang dikehendaki dalam ayat ini adalah syirik.
Rasul menguatkan tafsirannya sendiri denga firman Allah dalam Al-Qur’an :
¢Óo_ç6»t
w
õ8Îô³è@
«!$$Î/
( cÎ)
x8÷Åe³9$#
íOù=Ýàs9
ÒOÏàtã
“Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan
Allah sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar” (QS. Luqman
: 13)[8]
Setelah Rasulullah wafat (11 H.), kepeloporan beliau dalam bidang tafsir
dilanjutkan oleh para sahabat. Kebutuhan tafsir di masa itu medesak mengingat
persolana-persoalan baru yang muncul, seperti persinggunangan agama islam dengan kebudayaan lama daerah perluasan
islam, persoalan yang berhubungan dengan pemerintah dan pemulihan kekuasaan,
dan persoalan-persoalan baru yang akan dapat dipecahkan apabila ayat Al-Qur’an
ditafsirkan dan diberi komentar sekedar menjawab persoalan-persolan yang baru
timbul.[9]
Kemudian para sahabat yang melanjutkan kepeloporan Nabi dalam bidang
tafsir, antara lain : khulafa’ ar-Rasyidîn yaitu Abu Bakar (w. 13 H.),Umar (w. 23 H.), Utsman (w. 35 H.),
dan ‘Ali (w. 40 H.), Ibn Mas’ûd (w. 32 H.), Ibn Abbâs (w. 68 H.), ‘Abd Allâh dan Zubair (w. H.), Ubay bin Ka’ab (w. 20
H.), Zaid bin Tsâbit (w. H.), dan Abû Mûsa al-‘Ansyari
(w. 44 H.).[10]
Disamping sepuluh sahabat yang terkenal dalam bidang tafsir tersebut, beberapa
sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut penafsiran yang
dilakukan Nabi, yaitu : Abu Hurairah (w. 58 H.), Anas bin Mâlik (w. H.),
‘Abd Allâh bin ‘Umar (w. 73 H.), Jabir bin ‘Abd Allâh (w. H),
‘Aisyah (w. 57 H.), dan ‘Amr bin ‘Ash (w. H.). Mereka dipandang sebagai
generasi pertama mufssir.[11]
Sedikit sekali
kalangan sahabat yang menggunakan penafsiran bil ra’yî dalam menafsirkan
al-Qur’an. Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan akal dalam
penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah berkata:
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَ أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي
إِذَا قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ
مَالاَ أَعْلَمُ
“Bumi manakah yang menampung aku dan
langit manakah yang menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah
sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang makna Abbân.
Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu
mengenai kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada
pula beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî
selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs.[12]
Secara garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal dalam
menafsirkan al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri, Nabi Muhammad sebagai penjelas
(mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena
pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era ini merupakan salah satu
cabang dari hadits, kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih
diriwayatkan secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda.[13]
b.
Tafsir pada masa tabi’in
Setelah
generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada
masa tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa
sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat
sendiri), maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai banyak
bersandar pada berita-berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain
itu penafsiran tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan
ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat
menyebar ke berbagai daerah.
Ada tiga aliran
besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran Makkah, Sa’îd ibn Jubaîr (w.
712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada
Ibn Abbâs. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. 735 M), Zaîd
ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru pada
Ubay ibn Ka’âb. Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w. 720 M), Amir
al-Sya’bî (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn Daimah
al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.[14]
Menurut Ibn
Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah
sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn
Aslâm dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa
Mujâhid adalah mufassir yang besar. Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari
berpegang padanya.[15]
Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan
bahwa Mujâhid banyak bertanya pada ahli kitab.[16]
Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal
sebagai mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan
al-Qur’an.[17]
Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang berasal dari
tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari nabi ataupun
sahabat. Mereka meragukan apakah pendapat tabi’in tersebut dapat dipegangi atau
tidak. Mereka yang menolak penafsiran tabi’in berargumen bahwa para tabi’in
tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat ayat al-Qur’an diturunkan.
Sedangkan kalangan yang mendukung penafsiran tabi’in dapat dijadikan pegangan
menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan dari sahabat.[18]
c.
Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)
Pasca generasi
tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan). Masa
pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani
Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada
permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan mengumpulkan
hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka
menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan
ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian
dari kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir
adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn
Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam (211 H).
Setelah ulama
tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab hadis.
Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis
sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn
Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H),
Abu Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn
Mardawaih (w. 410 H).[19]
Sementara
al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan
ciri dan karakteristik. Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan
penulisan hadis. Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab
tersendiri di dalamnya. Kedua, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari
kitab hadis. Namun penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang
disandarkan pada Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran
bil ma’tsur). Ketiga, tahap ini penulisan tafsir tetap mencantumkan
riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan, riwayat-riwayat
tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir
adanya pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya kisah-kisah isrâiliyyât
dalam tafsir. Keempat, sumber tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas
pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.[20]
2. Tafsir pada Abad Pertengahan
Perkembangan
tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada
abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa keemasan (the
golden age).[21]
Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada
saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin
ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir.
Al-Qur’an pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan
mazhab/aliran tertentu.
Diantara
kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan Islam/abad pertengahan
antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn Jarîr
al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû
al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih al-Ghaib
karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya
Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).
Pada
perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H) yang juga kerap
mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk
mendukung pahamnya, wahdatul wujud.[22] Kelahiran
Imâduddîn Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan
bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri
sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia
tulis.[23]
Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah
al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama
Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi pada
ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-Qur’an
secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asbâb nuzûl,
macam qira’at, i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.[24]
Selain nama
mufassir di atas, muncul pula Alî ibn Muhammad al-Baghdadî (678-741 H) dengan
karya tafsirnya Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau yang
sering disebut dengan Tafsir al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran dalam
tafsir tersebut adalah bil ma’tsûr. Al-Khâzin menaruh perhatian cukup
besar banyak terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada beberapa
penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein al-Dzahabî.[25]
Pada tahun 754
H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû Hayyân al-Andalusî. Dalam
kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak mencurahkan perhatiannya
dalam masalah I’rab dan Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar dalam masalah
Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok disebut kitab Nahwu,
bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat Zamakhsyari dalam hal ilmu Nahwu.
Namun Abû Hayyan seringkali tidak sependapat dengan Zamakhsyari, terlebih
mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.[26]
Selain
nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada
abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis
tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad
pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia,
maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan
mazhab dan tempat.
3. Tafsir pada era Modern
Akulturasi
budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran
al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan
pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir
era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama
penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas
era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini
bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an, karenanya mereka gagal
menangkap spirit rasional al-Qur’an.
Atas dasar
pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim modern
menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan jargon penafsiran
al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an. Kemudian mereka
menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.[27]
Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern
Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir
modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir dalam menafsirkan ayat guna
menyesuaikan dengan tuntunan zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung
dalam al-Qur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih lanjut
Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu akibat persentuhan dengan
peradaban asing kian lebih intensif.[28]
Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad
Abduh (1849-1905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas saran
muridnya, Rasyid Ridha.[29]
Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian
Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J.
Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang
berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan
ajaran moral dari sebuah ayat.[30]
Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga
banyak yang menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama konservatifnya.
Sampai kemudian muncul metode dan cara baru dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah
Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi
ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi
atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Al-Jawâhir
fi al-Tafsir digadang-gadang sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).[31]
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în
al-Marâghi juga mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern dengan
karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang sering dikenal dengan
sebutan Tafsîr al-Marâghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis
tafsirnya selama sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950.[32] Dalam
muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia merasa
ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang terjadi
di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.[33]
Di samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan
tafsirnya Fi zhilali al-Qur’an dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’
dengan Tafsir al-Bayani li al-Qur’ani al-Karim.
Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan
kitab tafsirnya. Antara lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud
Yunus(1899)dan Kasim Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan (w.
1887-1958), Tafsîr al-Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsîr
al-Nûr al-Majîd karya Hasbi al-Siddiqi (1904-1975), Tafsîr al-Azhâr
karya Buya Hamka (1908-1981)[34], dan Tafsir
al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa
penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir
ilmi) dan sastra.[35]
Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan
Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi
berbagai metode penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
D. Tafsir Dalam
Perspektif Metodologis
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Cara penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi
berikutnya itu dalam kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil
al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan ini oleh al-Zarqani
didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam Al-Qur'an, al-sunnah atau
ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an.[36]
Metode bil ma'tsur, memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai
kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah :
a.
Menekankan
pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,
b.
Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan,
c.
Mengikat
mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subyektivitas yang berlebihan[37],
d.
Dapat dijadikan
khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan yang bermanfaat bagi generasi
berikutnya.
Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang
mengandalkan metode ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara
lain adalah :
a.
Terjerumusnya
sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele,
sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu,
b.
Seringkali
konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir
dapat di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan
turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa
budaya.[38]
c.
Terjadinya
pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-usaha musuh
Islam.
d.
Masuknya unsur
Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam
penafsiran Al-Qur'an,
Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup
dapat dipahami karena para mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan
ketelitiannya secara baik, juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an
dan segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan
itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena kita telah kehilangan
kemampuan dan rasa bahasa Arab itu. Metode periwayatan yang mereka terapkan
juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini
istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta
obyektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara
mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang
ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya
riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai
dasar yang kokoh.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat
Al-Qur'an. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para
sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan
perkembangan ilmu pengetahuan belum demikian pesat. Disamping itu, penghormatan
kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid nabi dan orang-orang
berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat
kedua khairun qurun, masih sangat terkesan dalam jiwa mereka. Dengan
kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi
berikutnya masih cukup mantap.
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an
dimana seorang mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan
utamanya. Sejalan dengan definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi
al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat
serta dapati diikuti, bukan atas dasar ra‘yu semata atau atas dorongan
hawa nafsu atau penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara
menurut Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir
dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran dalam
menjelaskan sesuatu.[39] Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi
al-ra’yi merupakan tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad
kepada yang semestinya dan jauh dari kesesatan dan kebodohan.
3. Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai
metode tajzi'iy adalah suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan
ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan
ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10).
Cara kerja metode ini terdiri atas empat langkah, yaitu
a.
Mufassir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
b.
Diuraikan
dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan mengenai arti
global ayat,
c.
Mengemukakan munasabah
(koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut
satu sama lain,
d.
Mufassir
membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat
dan tabi'in.[40]
Kelemahan
metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak jarang
hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap
pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali
bahwa metode ini tidak mampu memberikan jawaban-jawaban yang tuntas terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar
metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain
yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy yang
perlu dicarikan penyebabnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai
mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat
teoritis, tidak sepenuhnya mengacu pada penafsiran persoalan-persoalan khusus
yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat
teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk setiap
waktu dan tempat.[41]
Contoh dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti tafsir "Jami'
al Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih
al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari,
dilihat dari coraknya termasuk tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan
metode tahliliy, demikian pula dengan tafsir al-Razi.
4. Tafsir Muqaran (Komparasi)
Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan Quraish Shihab mendefinisikan
tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang
satu dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda
masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi Muhammad
saw, yang tampaknya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan
pendapat ulama tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama.[42] Dari beberapa
pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam metode tafsir muqaran :
a.
Arah
kecenderungan mufassir dan faktor yang melatar belakanginya,
b.
Penafsiran ayat
Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya namun berbeda
masalahnya,
c.
Penafsiran ayat
Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya bertentangan,
d.
Pendapat ulama
tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya.
Karya-karya
tulis yang termasuk dalam klasifikasi penafsiran muqaran adalah karya tulis
kontemporer, misalnya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern karya
Maurice Bucaile dan Muhammad fi al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an,
karya Ibrahim Khalili (Rumi, 1413:57).
5. Tafsir Ijmaly (Global)
Tafsir ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam
sistematika uraiannya, mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan
susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang
dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian cara kerjan metode ini tidak jauh
berbeda dengan metode tahliliy, karena keduanya tetap terikat dengan urutan
ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf, dan tidak mengaitkan
pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang sama kecuali secara umum saja.[43] Contoh
dari tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain.
6. Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi
memberikan batasan pengertian tafsir tematik, yaitu : Mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan dan bersekutu
dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat tersebut disusun
menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu
oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik,
ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada
gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya, sehingga
dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya dengan sempurna.[44]
Jadi lewat metode ini, penafsiran
dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu yang hendak dicarikan
penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an
yang berhubungan dengan topik ini, kemudian dicarilah kaitan antara berbagai
ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru akhirnya ditarik
kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling terkait
itu.
Jika
pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-ciri
dari bentuk tafsir tematik, antara lain :
a.
Obyek
pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam
urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam tafsir tahlilliy,
melainkan suatu tema tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara
integral menurut pandangan Al-Qur'an,
b.
Cara yang
ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang dipandang saling berkait
dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c.
Dalam proses
penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya ayat dan asbab
al-Nuzulnya,
d.
Sebelum
ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan
lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai
aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat",
dan sebagainya,
e.
Penafsiran
Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang tergolong
dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan,
seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya,
f.
Arah pembahasan
tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang ditetapkan,
g.
Tujuan utama
yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan oleh al-Farmawy
dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah memahami makna
dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz Al-Qur'an,
seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau
kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.[45]
Salah satu pakar tafsir yang mempopulerkan metode ini di Indonesia
adalah M. Quraish Shihab dengan berbagai karyanya.
E. Syarat-Syarat
Menafsirkan Al-Qur’an
Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam
penafsiran, maka para mufassir telah menetapkan ketantuan-ketentuan yang
berkenaan dengan kadar pengetahuan-pengetahuan yang berkanaan dengan kadar
pengetahuan ahli tafsir. Dr. Abd. Hay Al-Farmawiy dalam bukunya Prof. Dr. H.
Rachmat Syafi’ie, MA. menentukan persyaratan seorang mufassir sebagai berikut :
1
Sehat itikad dan menepati agama.
2
Sehat maksud.
3
Selalu berorientasi kepada naqli dari
Nabi SAW, sahabat dan tabi’in, terutama pada tafsir bi al-ma’sur.
4
Menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh
seorang mufassir, yautu : Bahasa Arab, nahwu, syaraf, isytiqaq, ma’ani, buyan,
badi’, qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbab an-nuzul, kisah, nasikh, mansukh,
hadits-hadits Pembina tafsir, mujmal dan mubham, serta ilmu-ilmu yang
dianugrahkan Tuhan kepada seseorang karena ia banyak beramal.[46]
Seorang mufassir diukur karena lima sikapnya, yaitu
:
1 Sikap loyal kepada kalam Allah SWT.
2 Tidak menempatkan pengaruh ilmunya terhadap wahyu atau kalam Allah
3 Cara baik (istihsan)
4 Tidak apriori mengekor mazhab fasik.
5 Tidak secara pasti menegaskan bahwa Allah menghendaki sesuatu tanpa
dalil.[47]
Jadi, dari paparan di atas, seorang mufasiir harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama tafsir dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Syarat-syarat tersebut ditetapkan agar dalam menafsirkan
Al-Qur’an tidak bersifat subyektif dan fanatik terhadap mazhab tertentu. Dengan
demikian makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an bisa di pahami oleh
ummat Islam dengan baik dan benar dan mempermudah ummat islam dalam mengambil
istinbath sesuai dengan apa yang tetepkan oleh Allaah dan Rasulnya. Sehingga
ummat islam di seluruh dunia menjadi ummat yang rahmatan lil ‘alamiin.
F. Pentingnya
Ilmu Tafsir Sebagai Media Membangkitkan kejayaan ilmu Pengetahuan Islam
Al-Qur’an adalah mu’jizat paling besar dari segala
mu’jizat yang telah diberikan Allah SWT. Kepada seluruh Nabi dan Rasul-Nya.
Al-Qur’an bukan saja untuk mematahkan segala bantahan kaum musyrikin terhadap
kebenaran wahyu yang dibawa Rasulullah SAW., tetapi ia juga ditunjukkan kepada
seluruh ummat manusia. Kemukjizatan Al-Qur’an pada dasarnya berpusat pada dua
segi : Pertama, segi isi atau kandungan Al-Qur’an, Kedua, segi
bahasa Al-Qur’an. Berkanaan dengan isi Al-Qur’an telah dikemukakan bahwa,
Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. 14 abad yang telah
lau itu, banyak membawa ayat-ayat ilmiah yang kemudian diakui kebenarannya oleh
ilmu pengetahuan modern dewasa ini.[48]
Selain itu, telah dikemukakan bahwa Al-Qur’an sebagai
kitab suci Allah yeng terakhir, merupakan kitab suci Allah yang telah lengkap
dan sempurna, dimana pokok-pokok atau prinsip-prinsip ajaran-ajaran dari
kitab-kitab suci Allah yang terdahulu yaitu, Taurat, Zabur, dan Injil telah
dibawa juga oleh Al-Qur’an, bahkan dibawakan dalam bentuknya yang sempurna. Ini
adalah sesuai dengan kenyataan bahwa agama islam yang telah dibawa Nabi
terakhir yaitu Nabi Muhammad SAW. merupakan puncak kesempurnaan dari agama
Allah yeng telah diwahyukan kepada para Nabi-Nya sejak Nabi-Nya yang pertama.
Sebagian ulama mengatakan, bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci Allah yang lengkap
dan sempruna itu mengandumh tiga pokok ajaran yaitu : Pertama, ajaran
keimanan, Kedua, ajaran akhlak (budi pekerti), ketiga, ajaran
berbagai rupa hukum yang berkaitan dengan pergaulan hidup manusia di dunia.[49]
Sebagian ulama yang lain mengatakan, bahwa Al-Qur’an
adalah mengandung dua pokok peraturan yaitu : Pertama, pengaturan yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, inilah yang disebut dengan ibadah. Kedua,
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam semesta termasuk
manusia, hewan dan benda-benda lainnyan, inilah yang disebut dengan mu’amalat.
Kandungan ataun isi Al-Qur’an yang bernama ibadah dan yang mu’amalat ini
kedua-duanya apabila diamalkan dengan sungguh-sungguh akan membawa manusia
kepada kemajuan dan kesejatraan atau kebahagiaan hidup lahir batin dan dunia
akhirat.[50]
Setelah nabi Muhammad SAW. wafat masyarakata terus berkembang,
masalah-masalah baru terus berkembang dan akan bermunculan dengan tiada
akhirnya, sedangkan wahyu Allah dalam bentuk Al-Qur’an dan As-Sunnah telah
berakhir setelah beliau watat tersebut. Sedang agama yang memasuki zaman,
situasi sosial dan kulturalnya berbeda dengan situasi tempat berdirinya, maka
agama itu pasti akan menghadapi problematika baru. Jika ia akan mempertahankan
autentisitasnya sesuai dengan aslinya sebagaimana yang dibawa oleh
pendirinyanya sepanjang masa, dari masa ke masa dalam pagar-pagar kepranataan
yang tidak tembus oleh pemikiran baru, maka kharisma agama itu tidak tersentuh
dan tidak akan berkembang. Akibat selanjutnya ialah agama itu akan menjadi
seperti kehilangan daya tariknya, karena tidak sanggup menyajikan kekayaannya
kepada manusia menurut selera zamannya.[51]
Salah satu problematika yang terjadi di kalangan ummat
islam hari ini adalah terjadinya kemunmduran SDM. Sehingga esensi ummat islam
sebagai khalifah di muka bumi dan sebagai ummat yang rahmatan lil ‘alamiin jauh
dari harapan. Banyak ummat islam hari ini yang tidak bersatu dikarenakan
berbeda kepentingan dalam perebutan kekuasaan dan keuntungan, saling meyalahkan
satu sama lain, pelecehan seksual, pembunuhan, korupsi, dan lain-lain.
Hal demkian terjadi karena ummat islam meninggalkan
Al-Qur’an alam kesehariannya. Al-Qur’an tidal lagi menjadi sumber petunjuk dan
inpirasi bagi kehidupan. Melainkan hanya sebagai bahan bacaan tanpa
mertenungkan isinya. Kadang, sekedar dilagukan dengan indah atau di waktu yang
lain sekedar dijadikan bahan perlombaan khatam membaca Al-Qur’an. Padahal sejak
awal turunnya, Allah telah menginformasikan kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah
petunjuk yang harus dibaca dengan kepemahaman. Dengan Al-Qur’an itulah Allah
mengajari manusia tentang segala hal yang tidak diketahuinya.[52]
Allah SWT. berfrman dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5,
ù&tø%$# ÉOó$$Î/
y7În/u Ï%©!$# t,n=y{
ÇÊÈ t,n=y{
z`»|¡SM}$#
ô`ÏB
@,n=tã
ÇËÈ ù&tø%$#
y7/uur
ãPtø.F{$#
ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ
ÉOn=s)ø9$$Î/
ÇÍÈ zO¯=tæ
z`»|¡SM}$#
$tB óOs9
÷Ls>÷èt
ÇÎÈ
“Bacalah dengan nama Tuhamu yang telah menciptakan, dia telah
menciptakan manusia dari segimpal darah. Bacalah, dan tuhanmulah yang maha
pemurah, yang mengajari (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak duiketahuinya”.
Jadi, untuk mengetahui dan memahami serta memudahkan
ummat islam mengaplikasikan kandungan
isi al-Qur’an yang diajarkan oleh Allah melaului Nabi Muhammd SAW.
diperlukan pemahaman tentang alat atau media yang mendukung yaitu tentang ilmu
tafsir. Dimana ilmu tafsir merupakan ilmu yang mengajarkan kepada kita untuk
memahami kandungan isi Al-Qur’an. Secara sederhana tafsir adalah penjelasan
ayat-ayat Al-Qur’an, merincinya dan mengambil hukum darinya.
untuk
memudahkan dalam memahami Al-Qur’an, para ulama merumuskan suatu ilmu yang
menjadi alat untuk memahaminya, ilmu tersebut adalah ilmu Tafsir. Dengan ilmu
tafsir akan diketahui apakah suatu ayat bermakna ‘am atau khas,
tekstual atau kontekstual serta pemahaman ayat lainnya.[53]
Tafsir termasuk
disiplin ilmu islam yang paling mulia dan luas cakupannya. Paling mulia, karena
kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang dipelajarinya, sedangkan
tafsir membahas firman-firman Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena
seorang ahli tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia terkadang
membahas akidah, fikih, dan akhlak. Di samping itu,
tidak mungkin seseorang dapat memetik pelajaran dari ayat-ayatAl-Qur’an,
kecuali dengan mengetahui makna-maknanya.[54]
Oleh karena itu, kita sebagai seorang
muslim harus berusaha mengetahui tafsir Al-Qur’an agar mampu mengambil
manfaat darinya dan mampu mengikuti jejak salafus shalih. Dengan urgensi
tafsir seperti itu, membawa ulama sepakat bahwa tafsir termasuk fardu kifayah
dan merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama setelah hadis
dan fikih. Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena ilmu ini membahas
pokok-pokok ajaran agama yang sangat dibutuhkan, akan tetapi mempelajari ilmu
ini mengandung tujuan mulia, karena pokok kajiannya adalah Kalamullah.[55]
Dengan demikian,
keberadaan ilmu tafsir di tengah-tengah ummat islam dapat membangkitakan
kejayaan ilmu pengetahuan islam. Dan sudah sepatutnya kita sebagai generasi
penerus islam untuk selalu menempatkan diri kita mempelajari Al-Qur’an dan ilmu
tafsir, agar pemahaman kita tentang islam bisa maksimal, dan tentunya akan
mempermudah kita dalam mengambil istinbath terhadap isi kandungan Al-Qur’an.
G. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi.
Al-Qur’an ibarat samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta mutiara
ilahi. Untuk meraihnya, semua orang harus berenang dan menyelami samudera
al-Qur’an. Tidak semua penyelam itu memperolah apa yang diinginkannya karena
keterbatasan kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa,
bahkan para pakar telah banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan tuntutan
zaman demi menegaskan eksistensi al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam penafsiran
di antaranya metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.
Ilmu tafsir merupakan media membangkitkan kejayaan
ilmu pengetahuan islam. Kita sebagai seorang muslim harus berusaha
mengetahui tafsir Al-Qur’an agar mampu mengambil manfaat darinya dan mampu
mengikuti jejak salafus shalih. Dengan urgensi tafsir seperti itu,
membawa ulama sepakat bahwa tafsir termasuk fardu kifayah dan merupakan salah
satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama setelah hadis dan fikih.
Keutamaan ilmu tafsir bukan hanya karena ilmu ini membahas pokok-pokok ajaran
agama yang sangat dibutuhkan, akan tetapi mempelajari ilmu ini mengandung
tujuan mulia, karena pokok kajiannya adalah Kalamullah.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Mustofa, Membonsai
Islam, Surabaya : PADMA Press, 2006.
al-Banna,
Gamal, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent.
Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
al-Dzahabî,
Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah,
2005, h. 43.
al-Marâghi,
Ahmad Mustafa, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
al-Qaththan, Manna al-Khallil, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973.
al-Siddiqi ,
Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1900.
al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqon
fi 'ulum al-Qur'an, Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.
al-Zarqanî,
Abdul Azhîm, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Maktabah
al-Arabiyah, 1995.
Departemen
Agama RI., muqaddimah Al-Qur’an dan Teremahannya, Semarang : CV. Toha
Putra, 1998.
Ghafur, Saiful
Amin, Profil Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah
fi Ushûl al-Tafsîr, Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971.
J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah
Mu’iz, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Mustaqim,
Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2011.
M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an Bandung: Mizan, 1995.
Nur
Faizan Maswan, Kajian Deskriptif Ibn Katsir, Yogyakarta : Menara Judus,
2003
Prof. Dr. H.
Rachmat Syafi’ie, MA., Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung : PUSTAKA SETIA,
2006
Prof. Dr. H.
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta
: Ciputat Press, 2002
Tim penyusun, Ensiklopedia
Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve.
[1] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h. 172.
[2] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 83
[3]
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh:
Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
[4]
Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr
al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
[5]
Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang ditunjukkan oleh
lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang tersusun”, meliputi
ilmu Sharf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan baginya ketika
tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang dimaksud
“hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul, naskh
mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu
al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 324.
[6] Jalaluddin
al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.)
Juz II, h. 172.
[7] Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya
tentang salât wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud salât
wusthâ adalah salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa al-Maghdu
dalam surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-Dhalîn adalah
kaum Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), h. 43.
[8]
Lihat Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar. M.A, Al-Qur’an;Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta : Ciputat Press, Cet.ke II 2012). h. 65
[9] Departemen
Agama RI., muqaddimah Al-Qur’an dan Teremahannya, (Semarang : CV. Toha
Putra, 1998), p. 27
[10] Nur
Faizan Maswan, Kajian Deskriptif Ibn Katsir, (Yogyakarta : Menara Judus,
2003), h. 21
[11] Ibid,
h. 21
[12]
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
[13]
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 337.
[14]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS,
2011), h. 41.
[15] Ibn
Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân
al-Karîm, 1971), h. 37
[16]
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
[17]
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr
al-Hadîtsah, 2005), juz 1, h. 97.
[18]
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 339.
[19]
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 340-341.
[20]
al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha
wa Daf’uhâ, h. 7-8.
[21]
Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008), h. 25.
[22]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 47.
[23]
Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 105.
[24]
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 380.
[25]
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 265-267.
[26]
Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 504.
[27] Tim
penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban,
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
[28] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern,
pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 2.
[29] Tafsîr
al-Manâr karya Muhammad Abdul awalnya merupakan tema-tema ceramah yang ia
adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian diterbitkan dalam bentuk jurnal setiap
bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid Ridha. Maka penyempurnaan tafsir
tersebut dilakukan oleh Ridha.
[30] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h.
8.
[31]
Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern,
Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 176.
[32]
Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 151-153.
[33]
Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
[34]
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237.
[35]
Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001), vol. 2, h. 126-132.
[36]
Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah
Isa al-Bab al-Halaby, 1957), h. 3.
[38]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), h. 49.
[39]
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 351-352.
[40]
Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Kairo: Al-Hadharah
al-Arabiyah, 1977, h. 18.
[41]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, h. 87.
[42]
Said Aqil al-Munawwar, I,jaz Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang
: Dina Utama, 1994), h. 36.
[43]
Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i,h. 67.
[44]
Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, h. 41-42.
[45]
Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, h. 51-55.
[46] Diambil dari bukunya Prof. Dr. H. Rachmat Syafi’ie, MA., Pengantar
Ilmu Tafsir,(Bandung : PUSTAKA SETIA, 2006) h. 217; penjelasan
yang lebih rinci Lihat Dr. Abd. Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah Fi At-Tafsir
Al-Maudhu’i, (Mesir : Maktabah Al-Jumhuriyah,1997), h. 17-20
[47] Ibid, h. 217; penjelasan yang lebih rinci Lihat Dr. Abd. Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah Fi
At-Tafsir Al-Maudhu’i, h. 265-278
[48]
Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar. M.A, Al-Qur’an;Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki, h. 37
[49] Ibid,
h. 38
[50] Ibid,
h. 38
[51] Ibid,
h. 287-288
[52]
Agus Mustofa, Membonsai Islam, (Surabaya : PADMA Press, 2006), h.
214-215
[53] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 21
[54] http://upi-luthfiahmad.blogspot.co.id/2012/03/makalah-urgensi-ilmu-tafsir-dalam.html. Diambil Pada Tanggal, 13 Oktober 2105.
[55] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 25