Budaya Literasi Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia

     Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari literasi adalah seperangkat keterampilan nyata – khususnya keterampilan kognitif membaca dan menulis – yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya.UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat. Karena sifatnya yang “multiple Effect” atau dapat memberikan efek untuk ranah yang sangat luas, kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian. Buta huruf, bagaimanapun, adalah hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik.Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa yaitu membaca dan menulis. Jadi, makna dasar literasi sebagai kemampuan baca-tulis merupakan pintu utama bagi pengembangan makna literasi secara lebih luas. Dan cara yang digunakan untuk memperoleh literasi adalah melalui Pendidikan.
     Pendidikan dan kemampuan literasi adalah dua hal yang sangat penting dalam hidup kita. Kemajuan suatu negara secara langsung tergantung pada tingkat melek huruf di negara tersebut. Orang berpendidikan diharapkan untuk melakukan tugasnya dengan baik.Secara historis, Menurut Prof. Dr. Tarwotjo M.Sc sebagaimana dikutip oleh Asul Wiyanto dalam pengantar bukunya yang berjudul “Terampil Menulis Paragraf”, produk dari aktivitas Literasi berupa tulisan, adalah sebuah warisan intelektual yang tidak akan kita temukan di zaman prasejarah. Dengan kata lain, apabila tidak ada tulisan, sama saja kita berada di zaman prasejarah. Tulisan merupakan bentuk rekaman sejarah yang dapat diwariskan dari generari ke generasi, bahkan hingga berabad-abad lamanya.
     Dalam sejarah peradaban islam, kita dapat melihat bagaimana tradisi Literasi islam melahirkan tulisan-tulisan para pemikir dan ulama islam klasik yang sudah berumur ratusan tahun sampai saat ini masih eksis dipelajari di berbagai lembaga pendidikan islam, khususnya pesantren. Kitab-kitab yang ditulis para ulama dan intelektual muslim era klasik merupakan sebuah warisan intelektual yang sangat berharga bagi pengembangan khazanah intelektual islam dari generasi ke generasi.
     Tulisan merupakan bukti dari jejak rekam sejarah peradaban manusia yang berupa peristiwa, pengalaman, pengetahuan, pemikiran, dan ilmu pengetahuan. Tulisan dapat menembus dan menelusuri lorong-lorong ruang dan waktu di masa lampau. Seandainya saja di zaman ini tak ada lagu tulisan atau orang yang mau menulis, niscaya kita akan kembali ke zaman pra-sejarah. Namun faktanya, justru peradaban kita saat ini bisa dikatakan sebagai peradaban tulisan atau peradaban teks. Terbukti dari banjir informasi yang kita terima setiap hari dari berbagai media baik cetak maupun elektronik, sebagian besar berbentuk teks atau tulisan. Singkat kata, tulisan telah mengisi seluruh ruang kehidupan manusia modern di era globalisasi seperti saat ini.
     Dalam dunia pendidikan khususnya, tulisan mutlak diperlukan. Buku-buku pelajaran maupun buku bacaan yang lainnya merupakan sarana untuk belajar para peserta didik di lembaga-lembaga sekolah mulai tingkat dasar sampi perguruan tinggi. Tanpa tulisan dan membaca, proses transformasi ilmu pengetahuan tidak akan bisa berjalan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tulisan, budaya membaca, serta menulis di kalangan masyarakat. Oleh karenanya, kita harus terus berupaya mendorong serta membimbing para generasi muda termasuk pelajar dan mahasiswa untuk membudayakan kegiatan Literasi.
Pentingnya Budaya Literasi di Sekolah
    Ada beberapa manfaat yang bisa kita dapatkan dari hasil membaca. Yakni : Dengan membaca, kita bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan. Misalnya membaca koran atau majalah. Membaca juga kita bisa mendapatkan hiburan seperti halnya apabila kita membaca Cerpen, novel. Dengan membaca mampu memenuhi tuntutan intelektual, meningkatkan minat terhadap suatu bidang, dan mampu meningkatkan konsentrasi.
   Menurut Lerner (1988:349) kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas berikutnya.National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.” Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
   Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius (tinggi). Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
  Melihat begitu rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia tentu ini akan berdampak pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang tahun ini akan menghadapi MEA (Mayarakat Ekonomi Asean) sehingga masyarakat Indonesia akan sangat sulit untuk bisa bersaing dengan masyarakat dari negara lain di Asean. Untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia biasa kita mulai dari sekolah, yang mana sekolah itu merupakan tempat/lembaga yang dirancang untuk melaksanakan proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa yang tentunya kegiatan itu tidak terlepas dari aktifitas membaca. Maka dari sinilah pentingnya mengembangkan budaya membaca di sekolah.
   Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti melalui pembiasaan membaca buku non-pelajaran selama 15 menit setiap hari sebelum pembelajaran dimulai merupakan payung bagi keberlangsungan Gerakan Literasi Sekolah yang dirintis oleh Satria Darma untuk dijadikan sebuah program nasional. Beliau berharap aktifitas membaca kedepannya bisa menjadi budaya bangsa Indonesia.
Penerapan Budaya Literasi di Indonesia
     Budaya literasi telah banyak diterapkan di sekolah-sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis siswa, serta meningkatkan mutu pendidikan. Bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai pengembangan dari Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti pada Anak. Awal peluncuran GLS sendiri dilakukan secara simbolis dengan memberikan buku-buku paket bacaan yang didistribusikan di berbagai sekolah sebagai tonggak budaya literasi. Namun walaupun pemerintah telah meluncurkan gerakan tersebut, tetap saja guru dan pihak sekolah harus pandai dalam menyesuaikan dan merencanakan program budaya literasi di sekolah. Untuk menerapkan budaya literasi di sekolah diperlukan beberapa prinsip. Prinsip-prinsip yang ditekankan adalah sebagai berikut.
•    Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang bisa diprediksi
Tahap perkembangan anak dalam membaca dan menulis sifatnya saling beririsan antar tahap. Memahami tahap perkembangan literasi dapat membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan perkembangan siswa.
•    Program literasi yang baik bersifat berimbang
Sekolah yang menerapkan  program literasi berimbang menyadari bahwa setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sehingga diperlukan berbagai strategi membaca dan jenis teks yang bervariasi pula.
•    Program literasi berlangsung di semua area kurikulum
Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru di semua mata pelajaran. Pembelajaran pada mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.
•    Tidak ada istilah terlalu banyak untuk membaca dan menulis yang bermakna
Kegiatan membaca dan menulis di kelas perlu dilakukan agar tercipta kondisi kelas yang kondusif dan menyenangkan. Untuk itu, perlu ditekankan bentuk kegiatan yang bermakna dan kontekstual. Misalnya, ‘menulis surat untuk wali kota’ atau ‘membaca untuk ibu’ adalah contoh-contoh kegiatan yang bermakna dan memberikan kesan kuat kepada siswa.
•    Diskusi dan strategi bahasa lisan sangat penting
Kelas berbasis literasi yang kuat akan melakukan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini juga harus membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Siswa perlu belajar untuk menyampaikan argumentasinya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan antar siswa.
•    Keberagaman perlu dirayakan di kelas dan sekolah
Penting bagi pendidik untuk tidak hanya menerima perbedaan, namun juga merayakannya melalui budaya literasi di sekolah. Buku-buku yang disediakan untuk bahan bacaan siswa perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar siswa dapat dikenalkan pada pengalaman multikultural sebanyak mungkin.
     Setelah berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, selanjutnya adalah penerapan budaya literasi di sekolah. Banyak terdapat bentuk-bentuk penerapan budaya literasi di beberapa sekolah di Indonesia, seperti berikut ini.
•    Membudayakan literasi dengan program 6M
Untuk meningkatkan budaya literasi di sekolah, khususnya di kelas pada kalangan siswa, diperlukan suatu tindakan yang salah satunya melalui program 6M. Program 6M sendiri terdiri atas tindakan mengamati (observe), mencipta (create), mengomunikasikan (communicate), mengekspresikan (appreciate), membukukan (post), memamerkan (demonstrate). Pada program ini siswa dibiasakan untuk mengaktifkan siswa dalam mengembangkan keterampilan yang dimilikinya agar siswa lebih peka, peduli, kritis, kreatif, dan jujur. Program ini telah diterapkan di beberapa sekolah dasar di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aulia Akbar, budaya literasi yang diterapkan melalui program 6M di sekolah, khususnya sekolah dasar, siswa dapat lebih membiasakan diri dalam mencari informasi-informasi yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Semakin besar siswa sadar akan pentingnya budaya literasi, maka semakin besar peluang siswa untuk mampu bersaing di era modern.
•    Membudayakan literasi dengan model BATU-BASAH
Kegiatan batu-basah (baca tulis-baca sampaikan hasilnya) dilatarbelakangi oleh rendahnya minat baca siswa di sekolah. Disamping itu, siswa juga mengalami kesulitan untuk menyampaikan hasil bacaannya dalam bentuk lisan dan tulisan, sekolah juga kesulitan dalam mengelola kegiatan literasi di sekolah karena belum semua warga sekolah berpartisipasi dalam pembudayaan literasi. Dalam model batu-basah yang merupakan akronim dari proses reseptif menjadi produktif yaitu baca tuliskan, baca sampaikan hasilnya. Model ini dilaksanakan dalam bentuk pelatihan dan pengelolaan kegiatan membaca kepada pengelola perpustakaan dan semua guru di lokasi mitra sebagai bagian penting dalam mengembangkan budaya literasi. Selain itu beberapa siswa juga turut dilatih tentang tips membaca efektif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mandra Saragih dan Habib Syukri Nasution yang dilakukan di SMP Negeri 13 dan 14 Binjai, terjadi peningkatan minat baca siswa dan menurunnya tingkat kesulitan siswa dalam menyampaikan hasil bacaan. Ditambah lagi pihak sekolah sudah mulai tersistem dalam mengelola kegiatan literasi di sekolah sehingga semua warga sekolah berpartisipasi dalam kegiatan ini, dan sudah memiliki format untuk menyampaikan hasil bacaan baik dalam bentuk lisan dan tulisan.
•    Membudayakan literasi dengan pendekatan proses
Salah satu cara untuk mengembangkan budaya literasi dengan pembelajaran membaca dengan menggunakan pendekatan proses. Kegiatan membaca dapat diajarkan kepada anak dengan pendekatan proses yang meliputi beberapa tahapan membaca, yaitu tahapan persiapan membaca, kegiatan membaca, tahap merespon, tahap mengeksplor bacaan dan tahapan memperdalam interpretasi. Dengan pembelajaran membaca dengan pendekatan proses, kemampuan membaca siswa sekolah dasar akan meningkat dan budaya literasi terbangun baik pada anak sejak usia dini. Pendekatan proses ini juga telah diterapkan di beberapa sekolah di Indonesia


GURU DAN MASA DEPAN ANAK BANGSA

 OLEH 

AHMAD, M.Pd



Masalah yang dihadapi Bangsa Indonesia hari ini sebagai akibat dari krisis pendidikan cukup beragam. Mulai dari aspek sosil, politik, budaya, ekonomi, serta aspek lainnya. Walaupun saat ini kita banyak menyaksikan bahwa prestasi anak Indonesia megalami peningkatan yang cukup baik seperti diraihnya prestasi diberbagai olimpiade internasional, namun di sisi lain kemunduran telah terjadi pada aspek yang sangat fundamental, yaitu moralitas. Kemunduran aspek ini menyebabkan krisis pendidikan akhlak dalam dunia pendidikan kita, sehingga dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat menahan laju kemerosotan akhlak yang terus terjadi. 

Melihat beberapa kasus pelanggaran akhlak (adab) yang terjadi pada generasi (anak didik), tampak jelas tidak tertanamnya dalam diri anak didik apa yang disebut dengan akhlak yang baik atau adab. Kasus pelanggaran akhlak atau adab yang terjadi pada anak didik dapat kita perhatikan di sekitar kehidupan kita atau bisa kita perhatikan melalui media massa, yaitu kasus tawuran antar pelajar, narkoba, pelecehan seksual, minum-minuman keras dan kasus-kasus asusila lainnya. Kasus-kasus seperti itu dapat menghambat generasi kita untuk menjadi generasi yang beradab, yaitu generasi yang mampu merubah peradan bangsa yang bermartabat di masa yang akan datang.

 Generasi  yang beradab merupakan generasi yang bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berakhlak mulia, dan mempunyai budi pekerti luhur. Dengan kata lain, generasi (anak didik) yang beradab adalah generasi yang mengintegrasikan iman, amal dan imu sekaligus dalam menjalani kehidupan di dunia. Untuk itu, dalam dunia pendidikan sangat diperlukan peran guru dalam membangun kualitas anak didik yang beradab. 



Sampai saat ini masalah guru seakan semakin menarik untuk dibahas dan semakin indah untuk diangkat ke permukaan. Baik sebagai sosoknya yang unik maupun sebagai manusia yang serba bisa. Dalam sorotan penulis guru merupakan sosok yang serba bisa. Lalu apa sih yang menjadikannya menarik untuk dibicarakan.? Ya…tentu saja banyak, coba kita lihat dulu apa sich sebenarnya guru itu? Guru itu kata orang Jawa digugu (dipercaya) dan ditiru (dicontoh). Guru menjadi panutan/teladan bagi anak didik. Itulah yang menjadikan sosok guru menarik. Belum lagi yang lain, yang terkait dengan beban amanah yang harus dilaksanaknnya, menjadi guru merupakan sebuah pekerjaan yang tidak semua orang dapat melaksanakannya, apa lagi untuk menjadi seorang guru yang diimpikan bagi setiap anak didik.

Baca Juga: Pendidikan Yang Mencerdaskan

Dalam UU No.14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa “guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, memimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan megevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru professional harus mempunyai kualifikasi akademik minimum sarjana (S1) atau diploma IV (D IV), menguasai kompetensi (pedagogik, professional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuik mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.

Dengan demikian, kehadiran seorang guru bukan sekedar mengajar dan berdiri di depan kelas, melainkan seorang yang mampu memberikan inspirasi bagi pertumbuhan intelektual dan moralitas anak didik. Guru adalah sosok manusia yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam segala aktivitas kehidupan anak didik di dalam maupun di luar kelas, guna mencapai tujuan hidup yang lebih bermartabat. Guru adalah manusia yang rela menyumbangkan sebagian besar waktunya untuk berbagi ilmu kepada semua anak didiknya bahkan kepada seluruh lapisan mayarakat. 

Guru bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan tetap berusaha mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik demi kelangsungan sebuah proses pendidikan. Guru juga berarti orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani, agar mencapai tingkat kedewasaan serta mampu berdiri sendiri dalam memenuhi segala tugas dan kewajibannya sebagai makhluk hidup.

Dengan kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat, maka dipundak guru diberikan amanah yang lur biasa mulianya, walaupun sangat berat untuk dilaksanakan mau tidak mau guru harus menerima itu semua. Hal ini juga mengharuskan guru untuk senantiasa memperhatikan segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak didiknya, tidak hanya dalam lingkungan sekolah melainkan juga harus perkembangan anak didiknya di luar sekolah. Menjadi guru berdasarkan tuntutan hati nurani tidak semua orang bisa menjalaninya, karena pekerjaan seorang guru adalah harus merelakan sebagian kebahagiaannya buat orang lain, demi lahirnya generasi-generasi yang diharapkan oleh masyarakat, agama dan bangsa.

Guru merupakan manusia yang paling bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik, mengubah segala bentuk perilaku dan pola pikir manusia, membebaskan manusia dari belenggu kebodohan. Pribadi yang beradab (berakhlak m ulia) adalah yang senantiasa menjadi harapan pada setiap anak didik. Tak seorangpun guru yang mengharapkan anak didiknya menjadi sampah masyarakat atau manusia yang tidak berguna. Oleh sebab itu, dengan penuh dedikasi dan loyalitas yang tinggi guru berusaha memberi bimbingan dan pembinaan agar kelak anak didik yang mereka bina dapat menjadi tumpuan keluarga, bangsa, dan agama. Jadi, pada dasrnya guru harus bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku, dan perbuatannya dalam rangka membina akhlak anak didik.

Menjadi tanggung jawab guru untuk memberikan sejumlah norma kepada anak didik agar anak didik tau mana perbuatan susila mana perbuatan asusila, mana perbuatan yang bermoral dan amoral, mana perbauatan yang beradab dan biadab, semua norma itu tidak harus dijelaskan di depan kelas, namun yang paling membekas jika itu diperlihatkan pada segala tingkah laku seorang guru baik dalam lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat, karena pendidikan sebenarnya tidak semata-mata melalui perkataan saja, melainkan melalui perilaku, sikap, dan perbuatan. Inilah yang disebut dengan keteladanan.

Bukankah, tugas utama pendidikan terhadap anak didik di sekolah adalah membangun jiwa mereka agar siap menerima berbagai ilmu pengetahuan dan kelak mengaplikasikannya demi kebaikan bersama. Guru merupakan ujung tombak pelaksana pendidikan sekolah. Maju mundurnya kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas guru, baik kualitas intelektual maupun kualitas moral (akhlak). Untuk memperoleh anak didik dengan sumber manusia yang tinggi dan mempunyai akhlak atau adab yang bagus, maka dibutuhkan guru yang memiliki sumber daya manusia tinggi dan mempunyai akhlak atau adab yang bagus pula. Maka dari itu, diharapkan kepada guru untuk terus meningatkan kualitas dirinya untuk membangun generasi bangsa yang beradab di masa yang akan datang.

Dari paparan penulis di atas dapat dipahami bahwa, peran guru sangat strategis untuk membangun generasi bangsa yang beradab di masa yang akan datang. Setiap tanggal 25 November para guru di seluruh penjuru tanah air Indonesia merayakan hari guru nasoinal/HUT PGRI, karena pada tanggal tersebut pemerintah telah menetapkan sebagai hari guru nasional/HUT PGRI. Oleh sebab itu, dalam peringatan hari guru nasional yang jatuh pata tanggal 25 November 2020  kali ini tidak hanya dirayakan secara seromonial belaka. Akan tetapi, ini adalah moment bagi guru untuk mengevaluasi diri sudah sejauh mana aplikasi peran dan tanggung jawabnya dalam mengembangkan potensi anak didik untuk masa depan bangsa. Guru harus bisa memahami dan mengaplikasikan peran dan tanggung jawabnya dalam mengajar, mendidik, mengarahkan dan membina anak didik dengan professional dan proporsional. Bangsa hari ini dan akan datang membutuhkan generasi-generasi yang produktif dan inovatif yang mampu mengintegrasikan antara iman, ilmu dan amal dalam mewujudkan bangsa yang bermartabat di mata dunia.  

Diakhir tulisan ini, penulis sampaikan selamat hari guru nasional. Semoga guru-guru Indonesia selalu membangun kekuatan dan kebersamaan untuk mewujudkan guru professional, sejahtera, dan bermartabat untuk meningkatkan mutu pendidikan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta dapat membangun generasi-genarasi bangsa yang beradab. Amiin allaahumma amiin. Wallaahu a’lam.




EKSISTENSI PEMUDA Di TENGAH-TENGAH MASYARAKAT



EKSISTENSI PEMUDA DI TENGAH-TENGAN MASYARAKAT
OLEH : AHMAD_@nkal[1]
Dalam kehidupan bermasyarakat tentu ada beberapa elemen yang saling berinteraksi. Dalam proses berinterkasi tidak selamanya berjalan mulus, pasti ada hal-hal yang dapat mendatangkan masalah. Itulah dinamika kehidupan dalam bermasyarakat. Perlu diingat bahwa proses berinteraksi yang positif akan menghasilkan kehidupan yang aman, sejahtera, dan dapat meminimalisir masalah antara yang satu dengan yang lainnya, sebaliknya proses interaksi yang negatif akan menghasilkan kehidupan yang  bisa mendatangkan berbagai masalah di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa, kehidupan bermasyarakat sekarang sudah mengalami perubahan drastis, dikarenakan pengaruh hegemoni Barat yang mengajarkan tentang nilai-nilai kebebasan dalam semua lini kehidupan. Propaganda Barat melalui media masssa seperti, televisi, hand phone, internet dan lain-lain sangat berpengaruh terhadap perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa bahkan orang tua ikut berpengaruh dengan kemajuan tekhnologi yang ditawarkan oleh orang-orang Barat hari ini. Kita bisa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa, degredasi moral semakin kentara di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita sekarang seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan, tawuran antar pelajar, korupsi besar-besaran, perampokan, perzinahan dan lain sebagainya. Kasus-kasus sepeti itu membuktikan kepada kita bahwa, kehidupan masyarakat semakin hari semakin terjadi penurunan kualitas dari  nilai-nilai moralitas.
Masyarakat sekarang sudah tidak peduli lagi dengan nilai-nilai kebersamaan dalam membangun Bangsa dan Tanah air, individu sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Nilai-nilai kebersamaan itu sudah mulai memudar dalam diri masyarakat, sehingga yang terjadi sekarang ini adalah saling sikut menyikut untuk mendapatkan keinginan hawa nafsunya. Hilangnya nilai kebersamaan dalam kehidupan masyarakat kebanyakan dikarenakan perebutan kekuasaan, perebutan kepentingan dan perebutan keuntungan, sehingga masyarakat menjadi serigala bagi masyarakat lain. Inilah problem terbesar yang membuat masyarakat tidak saling menghargai satu sama lain. Padahal menurut penulis dalam kehidupan bermasyarakat ada tujuan bersama yang harus dicapaai secara bersama pula, dan tujuan bersama tersebut sulit dicapai apabila antara individu dengan individu lain dan antara kelompok dengan kelompok lain tidak memiliki nilai-nilai kebersamaan dan tidak saling menghargai satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal demikian terjadi dikarenakan masyarakat sekarang sudah terkontaminasi dengan zaman modern. Abad modern diakui memiliki dua sisi, sisi positif dan negatif sekaligus. Modernisme dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, modernisme telah mendatangkan berkah dan kebaikan yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Namun, di sisi lain, modernisme telah pula menimbulkan laknat dan kutukan yang membuat manusia di landa kecemasan yang tiada tara. Dari sisi inilah, modernisme mendapat julukan sebagain “Abad Kecemasan” (The Age of Anxiety). Dari sisi ini, ada beberapa fenomena yang amat menonjol dan memperlihatkan dengan jelas sisi gelap  modernisme.
Pertama, timbulnya fenomena saintisme di dunia Barat di mana ilmu telah menjadi ideologi baru bahkan agama baru (pseudoagama). Fenomena ini, seperti diutarakan Sayyid Qutub, sudah tampak sejak abad XVII M. yang menyebabkan masyarakat Barat membuang semua keyakinan agama yang sakral. Mereka menolak semua itu, dan hanya percaya pada ilmu pengetahuan, dan kepercayaan ini telah mencapai tingkat yang amat tinggi. Saintisme mencapai puncaknya pada abad XVIII dan XIX dimana ilmu telah menjadi “berhala” yang dipertuhankan oleh manusia modern. Sepeti Tuhan, ilmu dipandang memiliki ketetapan yang amat kuat dan tidak dapat sedikitpun keraguan dan kebatilan di dalamnya. Namun lanjut Qutub, sejak permulaan abad XX, kayakinan di atas telah goyah karena terbukti watak ilmu pengetahuan itu tidak pernah tetap dan selalu berubah-ubah. Teman-temuannya setiap saat dapat dikorteksi. Anehnya, ilmu penegetahuan itu sendiri yang mengoreksinya dari waktu ke waktu. Jadi, ilmu pengetahuan yang diperlihatkan dengan jelas kelemahan-kelemahan sendiri dalam konsep-konsepnya, instrument-instrumennya, dan kriteria-kriteria penetapannya. Dari paparan di atas, ilmu pengetahuan bukan berarti tidak penting bagi umat manusia, akan tetapi masyarakat pada abad modern sekarang memisahkan agama dengan ilmu pengetahua itu sendiri, sehingga melahirkan pola pikir yang liberal dan sekuler. Padahal anatara ilmu dan agama tidak  bisa dipisahkan, bahkan ilmu dan agama bagaikan mata rantai yang yang saling mengikat dan berkesenambungan.
Kedua,  kirisis lingkungan dan kemanusiaan. Telah dikemukakan bahwa dalam modernisme terdapat ide kemajuan (concept og progress). Ini yang menyebabkan manusia atau masyarakat modern menjadi sangat pogresif dan agresif dalam mengejar kemajuan. Dengan bantuan IPTEK, mereka ingin menguasai dan menaklukkan mitos kekuatan alam semesta. Akibatnya, terjadi eksplorasi dan ekspolitasi besar-besaran terhadap alam yang mengakibatkan rusaknya ekosistem. Kerusakan alam dan lingkungan ini persis seperti yang digambarkan al-Qur’an yakni karena ulah dan keserakahan manusia.
tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ
Artinya :
Telah nampak keruskan di darat dan di laut disebabkan karena prbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Al-Rum : 41)
Modenisme telah pula melahirkan krisis sosial dan kemanusiaan dalam bentuk penjajahan dan kolonialisme. Atas nama kemajuan dan karena kompetisi  merebut kemajuan, bangsa-bangsa Barat melakukan penaklukan dan penjajahan terhadap seluruh negeri di Asia dan Afrika. Penjajahan ini telah menimbulkan kerugian yang luar biasa besar baik material maupun sosial dan kultural yang bekas-bekasnya masih dirasakan hingga sekarang. Ironisnya, penjajahan ini terus berlangsung hingga sekarang dalam bentuk penguasaan ekonomi, poklitik, sosial budaya dan iptek, oleh Negara-negara Maju atas Negara-negara Berkembang, termasuk Negara-negara Islam. Iptek telah dipergunakan untuk mendukung kelangsungan penjajahan model baru ini. Itu sebabnya, meski dunia kini memasuki era global, namun globalisasi dalam bidang iptek tetap terbatas. Iptek dalam arti produk memang meluas dan menyebar di Negara-negara Berkembang. Namun, iptek dalam arti proses tetap dikuasai Negara-negara maju sebagai “Agen Tunggal” pengembangan dan penguasaan iptek. Akibatnya, seperti dikatakan pemikir islam kontemporer Bassam Tibi, terjadi konflik besar antara The dominant scientific-technology Western culture and the preindustrial non-Western culture, sehingga masyarakat dunia (word society) menjadi timpang alias tidak setara (non egalitarial), atau seperti dikemukakan tokoh perdamaian Norwegia, Jhon Galtung “kita hidup dalam suatu tatanan dunia yang feodal”.  Modernisme diakui telah mendatangkan kekayaan secara material, tetapi sangat kering dan miskin secara etika dan moral. Segala sesuatu cenderung dilihat dari sudut kemajuan material. Ini sesungguhnya merupakan degredasi dan reduksi terhadap kualitas hidup manusia. Akibatnya, nilai-nilai luhur kemanusiaan, sepeti kasih sayang, kebersamaan, solidaritas, dan persaudaraan sebagai sesama mansia, kurang mendapat perhatian yang wajar dalam masyarakat modern.
Ketiga, materialisme modernitas. Modernitas, tulis John L. Esposito, tumbuh dari akar-akar materialisme. Buktinnya, modernisme ditopang oleh mesin ekonomi yang disebut kapitalisme. Kapitalisme merupakan motor dan penggerak modernisme. Sebagai lanjutan dari materialisme, kapitalisme merupakan suatu paham yang memberikan nilai dan penghargaan amat tinggi terhadap kenikmatan lahiriyah. Modernisasi sering di artikan, terutama di Negara-negara Berkembang, sebagai usaha meninggatkan taraf hidup yang lebih makmur. Akibatnya, modernisme, seperti telah disinggung lebih tertarik pada yang inderawi, lansung dan duniawi, dari pada yang rohani, tidak lansung, dan adiduniawi. Dalam pandangan yang demikian, maka jelas kriteria moral dan etika akan terdesak oleh kriteria manfaat dan kepentingan jangka pendek.
Keempat, Kehampaan spiritual masyarakat modern. Manusia modern, tulis Hossen Nasr, mengidap penyakit ketidakseimbangan psikologis akibat usahanya untuk hidup hanya dengan roti semata, membunuh semua Tuhan, dan membebaskan diri dari kekuatan Surgawi. Manusia modern juga mengidap penyakit pelupa atau alienasi. Ia menjadi lupa kepada dirinya sendiri, dan tentu saja lupa kepada pusat lingkungan eksistensi, yaitu Allah SWT. Manusia modern menjadi sangat rentang penyakit karena ia sesungguhnya telah kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental, yaitu spiritualisme. Ini merupakan ancaman bagi umat manusia. Kemajuan lahiriyah yang dicapai manusiua modern telah menjadi berhala yang menghambat komunikasi dan hubungannya dengan sumber kehidupan (Tuhan), sehingga kehidupan yang dibangunnya terasa sempit dan gelap, serta jauh dari bimbingan dan pentujuk Tuhan, seperti yang digambarkan Tuhan dalam Q.S. Thaha: 124 berikut :
ô`tBur uÚtôãr& `tã ̍ò2ÏŒ ¨bÎ*sù ¼ã&s! Zpt±ŠÏètB %Z3Y|Ê ¼çnãà±øtwUur uQöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4yJôãr&  
Artinya :
“Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta”.
Jadi, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi atau yang disebut dengan jaman modern atau jaman globalisasi, terdapat dampak positif dan dampak negatif di dalamnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi satu sisi dapat mempermudah manusia mengakses informasi sebanyak-banyaknya dan dapat mempercepat manusia melakukan segaala sesuatu. Akan tetapi, disisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi kebanyakan mengarahkan manusia pada dehumansiasi dan degradasi  moral yang berkepanjangan. Kalau kita lihat dewasa ini, kebanyakan manusia lebih terpengaruh pada sisi negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi lebih-lebih pada generasi muda.
 Dari beberapa problematika yang terjadi di tengah-tengah masyarakat akibat pengaruh infiltrasi (penyusupan) teori-teori Barat seperti yang telah dipaparkan oleh penulis di atas merupakan problematika yang harus segera diselesaikan oleh masyarakat, terutama oleh generasi muda. Sebab pemuda mempunyai posisi yang strategis di tengah-tengah masyarakat yaitu sebagai agent of change dan agent of control. Pemuda merupakan penggerak dalam merubah tata kehidupan yang ada di masyarakat, yaitu merubah dari kebiasaan yang tidak baik menjadi kebiasaan yang baik, dari tingkah laku yang menyimpang dan biadab menjadi tingkah laku yang beradab dan lain sebagainya. Selain itu pemuda juga sebagai penggerak dalam mengonrol kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin terjadi dehumanisasi dan semakin jauh dari nilai-nilai moralitas dan spiritualitas. Seorang pemuda harus tau berbagai macam informasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dari informasi tesebut dianalisa dan dicarikan solusinya bila ada hal-hal yang dapat merugikan kehidupan masyarakat banyak.
Untuk merealisasikan agent of change dan agent of control, ada beberapa hal menurut penulis yang perlu dilakukan oleh pemuda untuk mewujudkan generasi yang mampu membawa perubahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yaitu sebagai berikut.
Pertama, pemuda harus mengintegrasikan antara dzikir dan pikir. Berfikir (tafakkur) dan berdzikir (tadzakur) merupakan keharusan bagi setiap muslim. Orang mukmin sejati adalah orang yang selalu berdzikir dan berfikir sepanjang waktu seperti terbaca dengan jelas dalam surah al-Imran ayat 190-191 berikut ini :
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ   tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ     
Artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Ketika ayat ini turun, menururt riwayat yang bersumber dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, Nabi SAW ,menangis dan air matanya meleleh hingga membasahi janggutnya. Lalu, katanya, “celaka orang yang membacanya, tetapi tidak merenungkan maknanya”. Alam semesta, menurut ayat di atas, tidak diciptakan sia-sia. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini bersifat teologis dalam arti bergerak dan bekerja memenuhi tujuan penciptaan. Karena itu, ber-tafakkur tentang alam semesta diyakini dalam mengantar manusia menemukan Tuhannya. “jangan kau ragukan adanya Tuhan”, demikian kata Isaac Newton.
Berfikir itu sendiri, menurut al-Ghazali, di kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, berarti menghadirkan dua pengetahuan dalam hati untuk kemudian menghasilkna pengetahuan ketiga (idhar ma’rifataini li yastatsmir minhuma ma’rifah thsalitsah). Jaid, tafakkur pada hakikatnya adalah kegiatan mencari pengetahuan baru atas dasar pengetahuan-pengetahuan yang telah ada. Karena itu, dengan tafakkur, pengetahuan bertambah, dan ilmu pun berkembang. Bagi al-Ghazali, tafakkur lebih tinggi tingkatannya disbanding berzikir. Berdzi,ir tidak menghasilkan pengetahuan baru, tetapi menglang penegtahuan yang sudah ada. Sedamgkan tafakkur , seperti telah dikemukakan, menghasilkan pengetahuan baru. Jadi, dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa dzikir bersifat dplikatif, sedangkan berfikir brsifat produktif dan inovatif. Namu, dzikir juga menjadi penting, karena ia dapat mencerahkan pikiran. Dengan zdikir, pemikiran menjadi produktif dan inovatif.
Kedua, pemuda harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa, tujuan agama menciptakan masyarakat yang rahmatan lil ‘alamin di muka bumi  hanya bisa dicapai lewat paket mengajak kepada yang makruf, mencegah kepada yang mungkar, serta mengorientasikan seluruh tujuan hidupnya hanya kepada Allah SWT. Jadi, untuk ketiga aspek yang dijelaskan oleh penulis di atas, harus benar-benar direalisasikan dalam menjalani kehidupan di muka Bumi. Apa bila kita mengambil salah satu ketiga aspek tersebut atau tidak direalisasikan salah satunya maka akan terasa sulit untuk menciptakan masyarakat yang rahmatan lil ‘alamiin.
Menyuruh kepada yang makruf, mencegah kepada yang munkar dan beriman kepada Allah merupakan sifat universal manusia. Apa bila kita mengorientasikan diri kita kepada menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar tanpa mengorientasikan diri kepada Allah, tujuan hidup kita tidak jelas dan rapuh. Banyak penyimpangan-penyimpangan yang bakal terjadi di tengah perjuangan disebabkan oleh kepentingan-kepentingan sesaat kelompok tertentu. Hilanglah sifat universalnya, menjadi berkotak-kotak dan akhirnya bertengkar sendiri untuk berebut kekuasaan, kebenaran dan manfaat jangka pendek. Ketiga konsep di atas dapat mengantarkan kita pada pengembangan kulaitas SDM. Sebab konsep amar makruf dan nahyi munkar dapat mengembangkan kualitas intelektualitras dan moralitas, sedangkan konsep iman kepada Allah dapat mengembangkan kualitas spiritualitas. Maka dari itu, generasi muda harus benar-benar menjalankan ketiga aspek di atas, agar mampu menciptakan masyarakat yang rahmatan lil ‘alamiin.
Ketiga konsep di atas adalah tugas utama manusia. Apa bila manusia berhasil melakukan hal demikian, maka bisa dikatakan ummat terbaik. Hal demikian dijelaskan oleh Allah dalam Qur’an surat al-Imran ayat 110 berikut :
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
Artinya :
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Semoga generasi muda bisa mengerti dan memahami eksistensinya di tengah-tengah masyarakat dan juga bisa merealisasikan tugas-tugas yang harus dilakukan sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, sihngga pada akhirnya dapat mewujudkan masyarakat yang rahmatan lil ‘alamiin dan masyarakat yang berkualitas di masa yang akan datang.












[1] MAhasiswa pascasarjana Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAIN Mataram, 205-2016.

 Budaya Literasi Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia

     Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-...